Skip to content

Kisah 2 Petani ala Warren Buffett

Artikel ini adalah lanjutan dari artikel Mindset Beli Saham ala Warren Buffett, maka sebelum melanjutkan anda lebih baik baca artikel itu dulu supaya bisa nyambung. Oke pada artikel ini saya akan menjelaskan kisah 2 petani yang sering diceritakan oleh opa Warren. Sebenarnya cerita ini tidak 100% sama dengan yang disampaikan oleh Buffett, saya ada menambahkan ini-itu yang sebenarnya mencakup quote-quote Warren Buffett di beberapa interview lainnya. Cerita ini fiksi jadi gak usah googling nama petaninya ya. Oh ya satu lagi, sebenarnya kedua orang ini bukan petani sih, tapi lebih ke arah pemilik ladang pertanian. Cuman daripada ribet, saya bilang petani aja yak.

“Imagine for a moment that you decided to invest your money now, and you bought a farm about 160 acres for X dollars per acre and the farmer next to you had an identical 160 acres…”

Quote di atas saya petik dari RUPS terbaru tahun 2020. Warren bercerita mengenai dua petani yang memiliki ladang yang sama persis, namun dua petani ini memiliki sikap yang berbeda. Sebenarnya ceritanya sangat panjang kalau saya ketik, bagi anda yang ingin menontonnya bisa dilihat di sini, jadi saya akan menjelaskan cerita tersebut dan saya tambahkan perumpamaannya yang rasanya lebih bisa menjelaskan maksud dari Warren Buffett.

Semisal saya (bapak Paskalis) sudah mempelajari ladang jagung yang ditawarkan orang tersebut (bisa baca lagi artikel ini) dan data yang saya dapatkan adalah

  • Ladang sebesar 65 Hektar (160 acres), terletak di suatu kota di Jawa Tengah
  • Ladang tersebut dapat ditanami jagung 6x setahun dan dapat menghasilkan 5 ton jagung per hektar
  • Harga jual jagung di pasar sekitar Rp 4,000 per kilo dan biaya yang saya keluarkan sekitar Rp 3,000 per kilo
  • Maka hitungan saya adalah dalam setahun mendapatkan uang bersih sekitar Rp 1.95 milyar
  • Dalam 2 tahun terakhir terjadi 4x gagal panen (3x tahun 2018, 1x tahun 2019) karena kemarau berkepanjangan
  • Penanggungjawab ladang ini adalah alumni ITB jurusan pertanian yang pernah bekerja di perusahaan agrobisnis di Singapura
  • Ladang ini ditawarkan seharga Rp 6 Milyar

Dari data tersebut saya perkirakan uang saya akan kembali dalam waktu 3 tahun (6 Milyar : 1.95 Milyar) dan worst case scenario menurut saya adalah terjadinya gagal panen 3x setahun (50% gagal panen) karena cuaca, maka uang saya akan kembali dalam 6 tahun. Setelah 6 tahun berakhir, tentu saya akan punya pemasukan “gratis” tiap tahunnya sebesar 1.95 Milyar. Lalu letak ladang yang berada di Jawa Tengah cukup strategis karena bila perkembangan Jawa Barat, DKI dan Jawa Timur sudah mentok, otomatis akan segera menyebar ke Jawa Tengah, maka ada kemungkinan yang cukup tinggi dalam 6 tahun ke depan harga ladang ini lebih mahal. Terakhir, saya yakin dengan kepiawaian dari penanggungjawab ladang, tidak hanya jagung yang akan bisa tumbuh di tanah ini namun bisa diselang-seling dengan tumbuhan lainnya sehingga dalam setahun saya mungkin bisa panen 8-10x. Maka saya beli ladang itu.

Semenjak pembelian ladang jagung ini, setiap malam saya selalu tersenyum sendiri betapa baiknya pembelian ladang ini sampai-sampai saya terbersit untuk pindah rumah ke perumahan kecil yang letaknya tidak jauh dari ladang itu karena rasa penasaran saya dengan kinerja sehari-hari ladang itu. Akhirnya saya memutuskan untuk pergi ke ladang saya besok pagi sambil melihat-lihat perumahan di sekitar, ‘siapa tau ada yang menarik’ pikir saya. Pukul 09:00 pagi esok harinya, saya sudah siap-siap packing baju dan perlengkapan mandi. Saya langsung bergeas menyalakan mobil dan pergi ke ladang itu. Selama perjalanan saya masih terbayang-bayang betapa beruntungnya saya bisa memiliki ladang jagung yang menghasilkan 2 Milyar per tahun hanya dengan 6 Milyar. Sambil bersenandung lagu Country Road, saya tidak sadar sudah 3 jam perjalanan ini ditempuh dan akhirnya sampai juga di area ladang jagung. Sesampainya di pintu gerbang ladang tercinta, saya langsung disapa oleh pak Agung, penanggungjawab ladang yang alumni ITB itu. Pak Agung orangnya sangat pintar dan sangat ramah, bahkan ketika melihat wajah karyawan lainnya yang sumringah, saya yakin itu karena perlakuan pak Agung terhadap mereka sangat baik.

“Selamat pagi pak Paskalis, tumben hari kerja kok bisa mampir ke sini? apa ada perlu di kota ini?” sapa pak Agung. “Nggak pak, saya cuman ingin lihat ladang saya, beberapa malam terakhir ini saya kepikiran terus saking bahagianya bisa punya ladang ini.” lalu saya lanjut bicara “Sebenarnya saya ada perlu sih di sini, saya pengen lihat-lihat perumahan di sekitar sini.” muka ceria pak Agung perlahan berubah menjadi datar dan bingung, lalu tanyanya “Liat perumahan? pak Paskalis mau bisnis perumahan juga kah?” “Oh nggak lah pak, duit saya sudah banyak keluar untuk beli ladang ini. Saya ingin jual rumah saya sekarang untuk pindah ke kota ini.”

Dahi pak Agung semakin mengernyit mendengar perkataan saya, lalu dia mengajak saya duduk di tenda yang biasa digunakan untuk istirahat petani “Ayo pak duduk di sini dulu, rasanya pak Paskalis kepanasan deh, mau minum apa pak?” Saya menggelengkan kepala sambil melanjutkan, “Saya beneran mau pindah sini, saya sangat jatuh cinta dengan ladang ini.” Pak Agung pun ikut duduk di sebelah saya. Dia diam sejenak sambil menghela napasnya. Setelah beberapa saat akhirnya dia bertanya, “Oke pak Paskalis mau pindah ke sini karena jatuh cinta dengan ladang ini, lalu pak Paskalis mau ngapain?” Giliran saya yang agak bingung dengan pertanyaan itu, belum sempat menjawab, pak Agung melanjutkan pertanyaannya, “Bapak mau ikut nanem jagung?” “Nggak, itu kan tugasnya petani di ladang.” “Bapak mau jadi marketing dan jualan jagungnya kah?” “Nggak juga, kan kita sudah punya tim marketing.” akhirnya pak Agung bertanya untuk ketiga kalinya, “Pak Paskalis mau menjadi penanggungjawab ladang ini kah?” Saya seketika kaget dan langsung membantah, “Ya enggak lah! itu kan tugasmu dan saya yakin kamu jauh lebih jago dari saya.”

Pak Agung terdiam kembali beberapa detik, lalu dengan senyum tipis dia bertanya sekali lagi, “Jadi saya tanya lagi ya pak, Bapak Paskalis mau pindah ke sini untuk apa?” Saya terdiam. Di benak saya, saya hanya ingin dekat dengan ladang ini karena saya sangat senang dengan investasi ini, tidak ada alasan lainnya. Belum sempat saya merenung, pak Agung seolah berusaha menjawab renungan batin saya, “Mohon maaf saya lancang, tapi pak Paskalis pindah ke sini itu menurut saya tidak ada gunanya. Bapak tidak mau nanam, tidak mau jualan dan juga tidak mau mengawasi operasional ladang ini. Sebelum bapak beli, ladang ini sudah beroperasi 12 tahun, jadi sistemnya sudah terbentuk dari pembelian bibit hingga penjualan jagung. Pak Paskalis mau lihat sekali setahun atau setiap hari juga tidak ada bedanya, jagung tidak akan tumbuh lebih cepat dan harga jualnya tidak menjadi lebih mahal.” Lalu dia melanjutkan, “Saran saya pak Paskalis kembali saja ke rumah sekarang, lalu tidur pulas dan menikmati hasil investasi anda di ladang jagung ini.”

Saya merenung sejenak sambil meresapi kata-kata pak Agung barusan. “Iya katamu memang sangat masuk akal, rasanya saya terlalu euforia saja sampai berniat pindah ke sini, untung kamu bikin saya sadar.” Senyum pak Agung kembali merekah, “Yah syukurlah kalau begitu, karena selama ini saya merasakan juga kalau owner ikut-ikutan operasional biasanya bukan membantu malah mengacaukan, maaf ya pak kalau saya lancang.” Saya juga mulai tersenyum, “Oh nggak lah, justru saya butuh orang jujur kayak kamu.” Pak Agung mengangkat tangan kirinya untuk melihat jam tangannya, “Pak ini udah jam 12:30, sayang juga kalau pak Paskalis jauh-jauh datang ke sini tapi gak ngapa-ngapain, setidaknya kita makan siang bareng anak-anak ya pak.” “Yuk”, saya mengiyakan “Saya traktir deh kalian semua.” pak Agung pun langsung memanggil beberapa karyawan yang sedang tugas shift pagi dan menyuruh mereka bersiap-siap untuk makan siang bersama ‘Pak Bos’. “Kita naik mobil bareng ya pak, depotnya cuman 10 menit kok dari sini.” “Ngikut aja saya mah”, kami pun berdiri dan berjalan ke mobil milik pak Agung.

Sepanjang perjalanan ke depot, kita melewati beberapa ladang. Ada ladang padi, ada gandum, ada juga yang menanam jagung seperti milik saya. Namun ada satu ladang yang menarik perhatian saya karena ladang itu ukurannya kurang lebih sama dengan ladang saya tapi sepeda motor dan mobil yang parkir di depannya banyak sekali, sekilas saya hitung pasti lebih dari 100. ‘Untuk apa karyawan sebanyak itu?’, pikir saya. Tampak tulisan “Ladang Jagung Pak Sar” di depannya, hmm… ini menarik.

Sesampainya di depot itu, kami duduk di meja panjang yang muat 10 orang dan kebetulan pas untuk saya, pak Agung, 6 petani, 1 admin dan 1 marketing. Sambil menunggu pesanan kita datang saya bertanya ke pak Agung, “Pak, tahu ladang jagung pak Sar?” “Tahu pak, itu dekat dengan ladang kita,” jawabnya. “Iya saya tadi lihat waktu di perjalanan. Sepertinya ladangnya mirip dengan punya kita ya, tapi kok rame sekali.” pak Agung pun menghirup napas dalam seolah mempersiapkan diri untuk ngomong panjang lebar. “Ladang jagung milik pak Sar itu memang sangat mirip dengan milik kita. Ladangnya sama-sama 65 hektar, kualitas tanahnya juga sama, bahkan tipe jagung yang ditanam juga persis sama.” “Harga jualnya di pasar juga sama plek” celetuk orang marketing saya. “Wah kalau persis sama dengan ladang ini seharusnya saya beli juga ya, sayangnya saya gk ada duit 6 Milyar lagi hahaha…” ujar saya setengah bercanda setengah serius.

Namun pak Agung sepertinya tidak dengar perkataan saya jadi dia terus melanjutkan ceritanya, “Nah rame-rame di depan ladangnya itu karena memang pak Sar selalu mempromosikan ladangnya di Social Media, setiap hari dia posting di IG dan FB mengenai ladangnya.” “Mungkin dia mau merambah penjualan retail ke end user ya?” tanya saya. “Enggak pak” lagi-lagi orang marketing nyeletuk, “Saya sudah cek itu 100-200 orang yang datang ke ladangnya paling pol bawa pulang 1-2kg aja per orang, itupun kalau pas lagi musim panen aja. Lha ladang kita tiap kali panen hasilnya ratusan ton, dijual retail 100-200kg apa artinya.” “Jadi ngapain dia posting online ya?” saya lanjut bertanya. “Hmmm…” gumam pak Agung, “pak Paskalis kalau ketemu orangnya mungkin baru punya gambaran. Dia itu…” belum selesai bicara, tiba-tiba kami mendengar teriakan dari pintu masuk depot. “BOSSSS!! Pesen biasa yaaa, ayo cepetan gua uda laper!.” “… itu pak Sar, pak.” kata pak Agung. Saya setengah paham dan setengah bingung saat melihat sosok pak Sar. Saya tahu dia lagi mabuk sekarang dan ketidaklogisan dalam mempromosikan ladang di Social Media rasanya bisa terjawab dari sosok nyentriknya. “Yah begitulah pak, kami semua tidak pernah lihat pak Sar tidak mabuk sejak dia beli ladang itu dan tinggal di situ. Orangnya nyentrik, berisik, tapi untungnya gak pernah aneh-aneh ke tetangga.” Saya hanya manggut-manggut mendengar penjelasan dari para petani karena saya tidak melepaskan pandangan ke pak Sar.

Entah apa yang terjadi, tiba-tiba pak Sar langsung menoleh ke arah saya sambil berteriak, “OYYY! Lu Paskalis ya?” teriak pak Sar sambil berlari ke arah meja kami. “Eh… iya pak, dengan Bapak Sar kan ya?” ujar saya sambil ragu-ragu mengulurkan tangan. Tangan saya langsung dijabat dan dihentakkan naik-turun dengan kencang, “Wahhh! uda lama gua mau ketemu lu, kemarin baru beli ladang jagung itu kan? gimana-gimana punya kita sama persis lho. Eh, tapi lu liat lah punya gua rame diliat orang dibanding punya lu. Hari ini aja udah ada 100 lebih tuh orang dateng, besok gua prediksi jadi 200 tuh udah pada rame yang komen di IG LadangJagungPakSar. Ini ya idnya lu add aja nambahin follower sekalian lu bisa lihat gimana kerennya ladang gua, tiap hari gua update. Gimana mau beli gak? 20 Milyar gua lepas hari ini juga!” Entah karena banyaknya informasi yang saya terima atau bau alkohol pekat yang keluar dari mulutnya membuat saya tidak menangkap hamburan kata-kata yang dia lontarkan ke muka kaget saya. akhirnya dengan terbata-bata saya menjawab, “Eh… ngg..nggak dulu pak ya.” “Ya udah sante aja pak, lu inget-inget aja tawaran gue, jangan nyesel ya!” Lalu pak Sar melepaskan tangan saya dan duduk di meja yang agak jauh dengan kami.

“Hehehe, santai aja pak Paskalis, dia memang begitu orangnya.” Ujar pak Agung,”Bapak gak perlu dengerin kata-kata dia kok, dia gak pernah marah juga kalau kita abaikan.” Saya yang masih agak shock hanya bisa manggut-manggut. Pelayan pun datang membawa pesanan kami, “Yuk makan pak” ajak karyawan saya. “Ya” ujar saya sambil menunggu giliran untuk mengambil nasi. Sambil makan, saya berusaha mencerna kata-kata pak Sar tadi. Dia bilang bahwa ladangnya dikunjungi 100 orang hari ini, dan mungkin 200 orang besok tetapi menurut karyawan saya kunjungan itu tidak ada pengaruhnya ke ladang. Lalu dia menawarkan ladangnya seharga 20 Milyar yang artinya best case scenario pun saya baru balik modal dalam 10 tahun. Kok rasanya gak masuk akal ya. “Pak Agung”, saya berkata “Ya?” tanya pak Agung sambil menengadah dari pandangannya ke piring makan. “Saya hari ini nginep di rumah pak Agung boleh? Saya mau tanya-tanya soal ladang kita.” “Oh? Tentu saja boleh pak, kebetulan anak saya lagi ditugaskan ke luar kota, jadi ada kamar kosong yang bisa bapak pakai.” ujar pak Agung. “Makasih banyak ya pak.” kata saya. Sebenarnya saya yakin bahwa ladang saya baik-baik saja, saya hanya penasaran dengan ladang pak Sar ini.

Keesokan harinya saya dijamu sarapan yang sangat enak oleh istri pak Agung. Sarapan sederhana roti gandum dan susu ini sangat berbeda dengan produk yang saya beli di supermarket biasa, saya jadi terdorong lagi untuk pindah ke sini hanya demi menikmati roti dan susu ini. Sebelum saya dan pak Agung berangkat ke ladang, saya menyempatkan diri untuk cek IG @LadangJagungPakSar. Memang benar ladang ini cukup populer karena followersnya 23,000. Saya sekilas scrolling postingannya yang berjumlah 5,000 itu, tapi saya tidak menemukan perbedaan ladang beliau dengan ladang saya. Saya semakin yakin bahwa pengunjung itupun sebenarnya memang tidak ada gunanya.

Lalu saya dan pak Agung naik motor berdua ke ladang untuk mengecek ketinggian jagung dan cek kualitas pestisida yang dipakai. Kami melewati ladang pak Sar dan saya kaget melihat jumlah motor dan mobil yang lebih banyak dari kemarin. Pak Sar yang sedang menyambut tamunya di gerbang utama pun melihat saya dan pak Agung lalu serentak berteriak “Apa gua bilang, 200 orang coy! Harga hari ini 22 Milyar pak!” Saya mendengarnya pun hanya tersenyum saja. Apa mungkin ini orang beneran gila ya? masak sehari harganya naik 10%?

Sesampainya di ladang, saya bicara ke pak Agung, “Pak kalau saya nginap beberapa hari ke depan apa boleh?”. Pak Agung sambil melepas helmnya tersenyum kepada saya dan berkata, “Pak Paskalis mau nginap sebulan pun saya dan istri tidak keberatan.” Seakan membaca pikiran saya, pak Agung lanjut berkata, “Saya tahu sebenarnya pak Paskalis penasaran dengan ladang pak Sar dan itu sah-sah saja, saya tidak berani ikut campur. Saya hanya saran saja, jangan terlalu lama berhadapan dengan beliau karena menurut saya tidak ada gunanya.” Saya pun hanya tersenyum mendengar pernyataan itu, memang benar-benar pintar orang ini.

Keesokan harinya saya dan pak Agung melewati ladang pak Sar lagi, namun kali ini jumlah pengunjungnya turun banyak, kisaran saya hanya 100 orang saja. Saya juga tidak melihat pak Sar di gerbang utama seperti kemarin. “Kemana ya dia?” ucap saya dalam hati. Sesampainya di ladang, saya dikagetkan dengan seorang bapak paruh baya yang sedang minum bir di bawah tenda istirahat karyawan. Ternyata pak Sar. Sesaat setelah melihat saya, dia langsung berdiri dan berkata, “Oy pak, amsiong dah sepi banget hari ini, kalau gini mah udah gak ada harapan lagi. Saya jual 18 Milyar aja deh kali ini.” Saya dan pak Agung melihat satu sama lain sambil kebingungan. Akhirnya saya menjawab, “Nggak deh pak, masih terlalu mahal buat saya.” “Oh oke, ya udah gua balik ya.” katanya sambil berjalan kaki ke ladangnya. “Kalau rame dia jual mahal, kalau sepi dia jual rendah, gitu kah pak Agung?” “Saya gak ngerti juga pak.” jawabnya.

Hari ke-3 kami lewati lagi ladang pak Sar dan melihat kerumunan orang sekitar 150 orang sedang antri untuk masuk ke ladang. Pak Sar yang kali ini ada di gerbang sedang senyum-senyum menyapa tamunya. Saat melihat saya, dia tidak berteriak apapun, hanya membentuk huruf V dengan telunjuk dan jari tengah tangan kanannya. Saya rasa itu artinya harga jual kembali ke 20 Milyar.

Hari demi hari berlalu dan setiap harinya jumlah pengunjung di ladang pak Sar terus menurun. Namun saya tidak menyangka bahwa pak Sar setiap hari selalu datang ke ladang saya untuk menawarkan ladangnya. Harganya pun terus berubah-ubah setiap hari dari 15 Milyar, 11.3 Milyar, 8.4 Milyar, 6.3 Milyar dan hari ke-8 ini dia menawarkan ladangnya seharga 4.7 Milyar, lebih murah dari harga beli ladang saya. Pada jam makan siang, saya ajak pak Agung untuk makan siang berdua dengan saya.

“Pak, saya mau konsultasi sekali lagi.” ujar saya membuka percakapan. “Silahkan pak”, katanya. “Setiap hari pak Sar menawarkan ladangnya semakin murah, saya jadi khawatir bahwa harga jual ladang saya juga jadi turun terus, jangan-jangan waktu saya beli 6 Milyar itu harganya ketinggian lagi.” Pak Agung menanggapi dengan senyumnya yang selalu terpasang, “pak Paskalis waktu beli ladang ini apa sudah menghitung dengan baik?” “Sudah” jawab saya. “Lalu apakah menurut bapak 6 Milyar itu murah?” “Sangat murah, bayangkan saya 3 tahun balik modal, setelah itu saya dapat 2 Milyar per tahun, apalagi pak Agung ada rencana untuk selang-seling dengan palawija lainnya, rasanya ke depan saya bisa dapat lebih dari 2 Milyar per tahun.” “Kalau begitu bapak tidak perlu khawatir dengan harga jual ladangnya. Bapak tahu sendiri harga jual dari pak Sar itu naik-turun tidak menentu, bisa jadi lebih murah bisa jadi lebih mahal dari 6 Milyar yang bapak bayar.” pak Agung melanjutkan, “Kalau saya jadi bapak, saya malah akan beli ladang pak Sar itu, dengan 4.7 Milyar berarti anda bisa balik modal di bawah 3 tahun.”

“Iya sih masuk akal, tapi sayangnya saya gak punya 4.7 Milyar saat ini. Apa saya hutang bank aja ya?” Saya kembali bertanya. “Bisnis di ladang itu faktor eksternalnya sangat tinggi, terutama cuaca dan harga pasar. Cuaca buruk membuat kita gagal panen, lalu kalau harga jagung anjlok kita bisa aja malah rugi. Kalau pada saat tertentu kita harus rugi, bapak bayar hutang bank pakai apa? jangan sampai anda harus jual ladang kita di harga murah untuk menutupi hutang bank, saya pun akan ikut sedih pak.” Saya diam saja sambil merenung. Setelah makan siang, saya pamit ke pak Agung, “Pak, saya sangat berterima kasih atas semuanya selama semingguan ini. Saya belajar sangat banyak dari pak Agung dan bapak juga menyelamatkan saya dari keputusan-keputusan bodoh di pikiran saya. Nanti setelah saya kembali ke kantor, saya akan review imbalan pak Agung, rasanya pak Agung pantas menerima lebih.” Sekali lagi pak Agung tersenyum dan berkata, “Saya percaya bapak akan melakukan yang terbaik seperti saya juga melakukan yang terbaik demi ladang jagung ini.”

3 jam perjalanan pulang ini tidak lagi ditemani oleh senandung Country Road karena saya memilih untuk diam sambil merenung. Namun entah kenapa senyum di bibir saya tidak berubah layaknya perjalanan seminggu yang lalu. Saya telah menghabiskan 8 hari melakukan banyak hal namun situasi saya sama sekali tidak berubah, investasi masih di tangan dan tentu saya masih sangat bahagia dengan investasi ini. Sesampainya di rumah, saya berberes dan mandi. Sambil mengeringkan badan, saya berjalan ke kulkas di dapur dan melihat ada satu botol bir disebelah sekotak kecil susu yang belum dibuka. Saya ambil kotak susu itu dan meminumnya sambil berjalan ke tempat tidur. Tidak lama kemudian saya akhirnya tidur dengan nyenyak.

Penjelasan

Cerita di atas menggambarkan kisah 2 petani (pemilik ladang) yang sebenarnya menggambarkan situasi di pasar saham dengan aktor-aktor yang menggambarkan:

  • Pak Paskalis = Investor Fundamental Amatir
  • Ladang Jagung = Saham
  • Pak Agung = Manajemen Perusahaan
  • Pak Sar = Pasar Modal / Mr. Market
  • Pengunjung ladang = Volume Trading / Tingkat kepopuleran saham

Coba anda baca lagi cerita di atas namun ganti nama aktor tersebut dengan peran yang digambarkannya.

Jelas bahwa di awal investor fundamental harus melihat kuantitatif dari calon saham yang akan dibelinya (Omzet, Earning Yield, PER, dst) lalu mendalami sisi kualitatifnya (Lokasi perusahaan, manajemen perusahaan, dst). Investor juga tidak seharusnya pusing dengan pergerakan harga yang terbuat di pasar modal karena kita tidak memiliki kewajiban untuk menanggapi tawaran dari pasar modal tiap harinya. Namun, Mr. Market bukanlah seorang yang buruk, malah ada saatnya dia memberikan kesempatan emas untuk membeli saham tersebut pada harga yang lebih murah dari seharusnya. Terakhir, investor tidak boleh memakai hutang atau leverage dalam investasi sahamnya karena pergerakan jangka pendek tidak bisa diprediksi.

Wisdom Warren Buffett yang saya pakai di cerita ini adalah:

  • Kita perlu paham cara kerja dan fundamental saham yang ingin kita beli
  • Kita perlu tahu manajemen di balik perusahaan tersebut dan kita harus memilih perusahaan dengan manajer yang sangat baik dan berintegritas
  • Tidak ada gunanya kita melihat perusahaan yang kita investasikan setiap hari
  • Tidak ada gunanya kita melihat pergerakan harga saham setiap hari
  • Pergerakan harga saham sering tidak menggambarkan kinerja fundamental saham/perusahaan
  • Kita tidak mempunyai kewajiban untuk menanggapi tawaran pasar modal
  • Pasar modal tugasnya memberikan kesempatan untuk membeli di harga yang undervalue dan menjualnya di harga overvalue.
  • Hitung resiko investasi kita dengan baik, Don’t Lose Money
  • Jangan pernah pakai hutang atau leverage

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *