“High Risk – High Gain & Low Risk – Low Gain” sudah menjadi kalimat umum di dunia investasi. Bahkan pandangan itu sudah menjadi patokan dalam memilih instrumen investasi dan bisnis. Bila ingin mendapatkan hasil yang besar, tentu saja harus berani menerima risiko yang besar dan sebaliknya. Ketika ada investasi yang memberikan imbal hasil 5%, sudah pasti risikonya lebih kecil dibanding aset yang memberikan 15%. Namun, menurut saya pandangan ini kurang tepat karena kalimatnya kurang lengkap. Kalimat yang benar harusnya:
High Perceived Risk – High Potential Gain & Low Perceived Risk – Low Potential Gain
Paskalis Investment
Mari kita ambil contoh yang sederhana. Dari kacamata orang awam, ketika ditanya investasi apa yang paling aman (Low Risk – Low Gain) mayoritas akan menjawab deposito bank. Dari sisi risiko , deposito bank berisiko rendah karena uang investor disimpan di brankas bank dan bisa ditarik ketika sudah jatuh tempo. Misalnya kita lagi apes dan bank itu bangkrut, uang deposito kita juga akan ditanggung oleh Lembaga Penjamin Sosial (LPS) hingga 2 Milyar Rupiah. Dari sisi imbal hasil juga sudah jelas diberitahu di awal bahwa akan menerima sekian % per tahun selama deposito belum dicairkan. Biasanya 3-5% per tahun, tergantung banknya.
Sekilas memang pernyataan Low Risk – Low Gain itu cocok dengan deposito bank. Namun, apakah semua deposito bank itu sama? Bagaimana bila ada bank yang berani memberikan rate deposito 7% per tahun? 2x lipat lebih besar dibanding bank pada umumnya. Apakah dengan naiknya imbal hasil deposito, risiko yang kita hadapi juga lebih besar?
Jawaban yang tepat adalah tergantung.
Perceived Risk
Risiko adalah potensi terjadinya sesuatu yang membahayakan. Risiko juga sifatnya subjektif, tergantung sudut pandang orang yang menghadapi situasi itu. Ketika saya mengendarai mobil Formula one, risiko terjadinya kecelakaan sudah pasti sangat tinggi karena saya kalau nyetir mobil tidak pernah di atas 150 km/jam. Namun, bagi Max Verstappen, mengendarai mobil di atas 300km/jam adalah hal yang biasa dan dia tahu cara menyetir dengan baik sehingga tidak akan terjadi kecelakaan.
Maka, walaupun kegiatan yang kita berdua lakukan sama persis, risiko yang kita hadapi sangat berbeda. Saya menganggap (perceived) bahwa menyetir mobil F1 sangat berbahaya, Mr. Verstappen menganggap menyetir mobil F1 aman-aman saja.
Kembali ke contoh deposito bank di atas. Apakah rate deposito 7% meningkatkan risiko? tentu saja tergantung perceived risiko masing-masing investor. Orang awam yang tidak paham mengenai bank yang memberikan rate tinggi itu tentu saja akan beranggapan bahwa ada sesuatu yang aneh. Kok berani kasih rate tinggi? apakah bank ini mau bangkrut dan curi kesempatan buat ngambil uang masyarakat? Apakah ini hanya tipuan marketing aja? Maka, baginya menaruh deposito di bank itu memiliki High Perceived Risk.
Sebaliknya, Saya tahu bahwa bank yang mengeluarkan rate deposito 7% itu adalah bank digital yang diback-up oleh perusahaan besar. Selain itu, saya juga tahu bisnis model bank ini bisa berjalan walaupun dengan biaya DPK sebesar itu. Maka, bagi saya deposito di bank ini tidak berbeda dengan deposito di bank yang memberikan rate 3% sehingga Perceived Risk saya tetap sama. Bisa disimpulkan bahwa saya berinvestasi dengan profil Low Perceived Risk.
Contoh di atas menggambarkan sebuah aset yang sama bisa menggambarkan profil risiko yang berbeda, tergantung dari pandangan investor. Namun, aset tersebut memberikan imbal hasil yang sama dan terjamin. Bagaimana bila kita ingin membeli instrumen investasi dengan imbal hasil yang tidak terjamin?
Potential Gain
Ratusan warga desa Wadung di kecamatan Jenu, Kabupaten Tuban hidup di atas tanah seluas 820 hektar. Mereka sehari-hari melakukan kegiatan bertani jagung dan cabai, ada juga yang memakai lahan itu untuk berternak sapi. Sekali panen mereka bisa mendapatkan hasil 40 juta rupiah, sedangkan sapinya bisa dijual ke rumah penjagalan. Secara umum imbal hasil yang mereka dapatkan dari tanah seluas itu tidak terlalu besar. Palingan ketika cuaca sedang mendukung mereka bisa mendapat hasil panen yang lebih banyak dan sapi juga bisa terjual lebih mahal ketika masa Qurban. Maka potensi imbal hasil (Potential Gain) yang mereka miliki tidaklah banyak alias Low Potential Gain.
Pada tahun 2021, PT Pertamina menemukan sumber minyak yang besar di dalam tanah di daerah desa Wadung itu. Pertamina memproyeksi bahwa lahan tersebut bisa memproduksi 300 ribu barel minyak per hari. Dengan data tersebut, maka perusahaan berani membeli tanah seluas 820 hektar itu dengan rate 600-800 ribu per meter persegi sehingga total dana yang dikeluarkan untuk pembelian tanah saja sekitar 5.7 T. Mengapa Pertamina berani mengeluarkan uang sebanyak itu untuk membeli tanah tersebut? tentu saja mereka memiliki hitungan tersendiri. Bila benar mereka bisa memproduksi 300 ribu barel minyak per hari maka potensi pendapatannya sekitar 400 Milyar per hari atau 146 T per tahun (Tidak memperhitungkan capex kilang, opex, dll. Ini hanya untuk gambaran saja). Maka bagi Pertamina, investasi di lahan tersebut memiliki potensi yang luar biasa besar alias High Potential Gain.
Lagi-lagi dengan aset yang sama, masing-masing pihak bisa memiliki sudut pandang yang berbeda sehingga menghasilkan potensi gain yang juga berbeda.
Permainan persepsi dan potensi
Bila kita sudah paham bahwa anggapan High Risk – High Gain & Low Risk – Low Gain itu kurang tepat, maka kita bisa menggunakan kesalahan asumsi ini untuk keuntungan kita. Bagaimana caranya?
Pada kedua contoh di atas, saya selalu membandingkan dua pihak yaitu pihak awam dengan pihak yang paham. Ketika kita memiliki pemahaman yang lebih baik dibanding orang awam, maka kita bisa memiliki Perceived Risk yang lebih rendah dan/atau Potential Gain yang lebih tinggi. Maka cara pertama yang harus kita lakukan adalah memahami situasi itu dengan baik. Bila kita sudah paham, kita bisa meraup keuntungan dari persepsi orang awam yang salah itu.
Cara kedua adalah kita berusaha mencari persepsi yang mismatch. Saya suka berinvestasi di aset dengan High Perceived Risk – High Potential Gain bagi orang awam tapi sebenarnya Low Perceived Risk – High Potential Gain bila benar-benar memahami situasinya.
Sebagai contoh, saya pernah menganalisa suatu saham perusahaan rokok di Surabaya. Perusahaan ini tidak besar, bahkan produksinya tidak sampai 10% dari kompetitor besarnya. Ukuran perusahaan yang relatif kecil dan berdomisili di luar Jakarta menyebabkan perusahaan ini tidak sering dilirik investor besar. Beruntungnya saya mendapat kesempatan untuk mengunjungi perusahaan ini secara fisik hingga ke pabriknya.
Perusahaan rokok ini sebenarnya biasa saja, tidak seistimewa kompetitor besarnya. Namun, regulasi pemerintah terbaru tahun ini mengenai cukai rokok menimbulkan angin segar bagi perusahaan ini. Mereka bisa lebih leluasa menaikkan harga rokok, dengan bahan baku yang sama sehingga profit per tahunnya meningkat sangat signifikan.
Kantor pusat perusahaan ini berada di pusat kota Surabaya. Gedungnya sangat ikonik karena selain letaknya yang strategis, arsitekturnya masih memiliki ciri khas gedung Belanda. Bahkan gedung ini dianggap gedung bersejarah Surabaya.
Beberapa minggu yang lalu gedung tersebut tiba-tiba didatangi polisi dan dikabarkan akan disita. Aksi ini dimulai dari pagi hari dan tidak ada pemberitahuan sebelumnya. Sehingga banyak orang yang kaget. Apalagi berita yang muncul masih sedikit, mayoritas hanya dapat informasi dari sosial media saja. Kita hanya tahu bahwa gedung sudah dipasangi police line dan ada beberapa kendaraan polisi sudah standby di sekitaran gedung.
Hal ini langsung membuat panik investor dan harga sahamnya turun 7% dalam hitungan menit. Secara cepat banyak fear yang tersebar di forum online. Dari yang gedung disita, rekening dibekukan hingga perusahaan ditutup paksa. Keesokan harinya, keadaan juga tidak membaik karena gedung tersebut masih disegel sehingga sahamnya turun lagi lebih dalam.
Bagi mayoritas orang, situasi ini adalah High Perceived Risk – High Potential Gain. Risiko bila berhadapan dengan polisi sudah pasti tinggi apalagi bila merembet ke pembekuan rekening.
Namun, bagi investor yang paham betul mengenai situasi ini, mereka malah membeli saham perusahaan tersebut karena situasi ini adalah Low Perceived Risk – High Potential Gain. Memang betul kantor pusat perusahaan disegel, namun pabrik produksi di Surabaya maupun di luar kota masih tetap berjalan seperti biasa. Semisalnya kantor ini tidak dikembalikan ke perusahaan, ya paling staff di kantor harus sewa kantor baru saja. Bukan biaya yang signifikan dibanding pendapatan dari penjualan rokok. Lebih lagi, setelah tahu akar masalahnya, risiko pembekuan rekening bank itu juga hampir tidak mungkin terjadi.
Penurunan harga saham dengan cepat juga memberikan potensi gain yang besar, apalagi seperti saya sebutkan di atas bahwa tahun ini adalah tahun yang sangat baik bagi perusahaan.
Tentu saja, sering terjadi keadaan yang terbalik di mana menurut orang awam ada situasi yang Low Perceived Risk – Low Potential Gain padahal aslinya High Perceived Risk – Low Potential Gain. Contoh sederhananya ketika ada perusahaan consumer goods yang sudah sangat terkenal dan produknya sudah terjual hingga pelosok desa. Karena kekuatan perusahaan dan track record yang bagus maka harga sahamnya juga konsisten naik selama 10 tahun terakhir.
Namun karena perusahaan ini bergerak di bidang kebutuhan sehari-hari, maka kompetitornya sangat banyak. Pada saat pandemi COVID-19 tahun 2020, banyak perusahaan yang harus tutup untuk mengindari penyebaran virus ini. Hal ini menyebabkan krisis supply chain yang sangat mempengaruhi perusahaan, terutama yang besar. Karena itu, mulai banyak muncul perusahaan kecil yang tidak terlalu terpengaruhi oleh supply chain. Akhirnya perlahan market share perusahaan besar pun terkikis oleh kompetitor-kompetitor ini.
Di sisi lain, karena size dan jangkauan distribusinya sudah sangat lengkap. Perusahaan besar ini sudah tidak memiliki cukup ruang untuk bertumbuh. Bila semua orang sudah punya barangnya, mau jual kemana lagi?
Maka, perusahaan ini harus melawan banyak kompetitor kecil yang memakan market share-nya dan mereka juga tidak punya ruang bertumbuh yang cukup. Jadi, investor yang paham harusnya menghindari aset saham perusahaan ini karena memiliki profil High Perceived Risk – Low Potential Gain.
Kesimpulannya. High Risk – High Gain & Low Risk – Low Gain kurang tepat karena persepsi risiko dan potensi hasil tiap orang berbeda tergantung pemahaman masing-masing. Maka kalimat yang tepat harusnya High Perceived Risk – High Potential Gain & Low Perceived Risk – Low Potential Gain. Namun, karena mayoritas orang tetap mempercayai konsep yang kurang tepat itu, kita malah memiliki kesempatan untuk berinvestasi atau menghindari aset yang salah persepsi itu.