Saya sering mendengar frasa Information Overload (IO) yang menjelaskan fenomena terlalu banyak informasi yang diterima seseorang sehingga tidak membuat dirinya makin paham tapi makin bingung. Contoh paling umum adalah saat pertengahan tahun 2020 dimana wabah COVID-19 lagi marak-maraknya. Banyak sekali informasi yang muncul mengenai cara penularan virus ini, dari mulai cipratan air ludah, kontak fisik dengan pengidap, bekas kontak di barang-barang, penyebaran dari sirkulasi AC, dan banyak lainnya. Pembaca dibuat seolah-olah semua hal di sekitarnya bisa membunuhnya setiap saat dan kita pun menjadi tidak tahu apa yang sebenarnya harus dilakukan. Makin banyak informasi makin bingung.
Penemuan vaksin pun tidak membuat hidup menjadi mudah. Kita dibingungkan lagi dengan berbagai pilihan vaksin dari Cina, Eropa, Amerika sampai vaksin Indonesia. Katanya vaksin dari Cina tidak bisa dipercaya, tapi ada yang bilang itu vaksin terbaik karena pakai teknik tradisional. Vaksin dari Eropa lebih dipercaya tapi bingung kenapa kok rentang dosis 1 dan 2 jauh sekali. Akhirnya semua mengejar vaksin Amerika karena dianggap paling tokcer, sampe semuanya rela membayar mahal demi dapat satu suntikan cairan penangkal virus itu. Tapi ada yang takut juga nanti DNA kita berubah gara-gara teknologi mRNA nya.
Padahal kalau kita ditanya apa bedanya vaksin A dan B pasti jawabannya dimulai dengan “Katanya…”. Ada yang katanya dokter di Youtube, katanya teman di Cina, katanya berita di Whatsapp, katanya orang-orang. Semua tidak paham, semua bingung.
Penyebab Information Overload
Menurut saya, penyebab utama IO adalah rendahnya kualitas informasi. Upaya yang diperlukan untuk menyajikan berita yang akurat dan lengkap itu besar sekali, saya bikin artikel sederhana mengenai satu emiten saja butuh riset beberapa minggu. Bayangkan bila kita perlu membahas suatu topik yang kompleks, seperti vaksin COVID-19, apalagi yang data di lapangan juga belum lengkap.
Ingat, dibalik berita yang kita baca di grup Whatsapp, grup Telegram, gosip Bapak-bapak dan Ibu-ibu itu ada sebuah perusahaan. Namanya perusahaan pasti akan mencari cara untuk menjual produknya dengan cepat, banyak dan mahal. Nah, perusahaan media punya pilihan untuk mewawancarai berbagai ahli di topik tersebut, mencari fakta yang akurat ke instansi-instansi khusus dan mengolah cara penyajiannya agar dapat dicerna pembaca dengan baik sehingga menghasilkan satu artikel yang lengkap dan tepat. Atau buat artikel berita sepanjang 3-5 paragraf yang isinya copy-paste dari artikel berita lainnya lalu ditambahi kata-kata Clickbait supaya menarik. Kalau kita memiliki perusahaan media, sudah jelas pilihannya kan?
Penyebab selanjutnya masih berhubungan dengan kualitas informasi tadi, yaitu kuantitas informasi. Pembuatan artikel tidak berkualitas membutuhkan sedikit usaha dan waktu yang singkat sehingga menghasilkan banyak sekali artikel berita yang siap disajikan ke pembaca. Supplier berita ini menganut prinsip YPL (Yang Penting Lihat).
Mereka tidak terlalu peduli apakah pembacanya puas atau paham dengan apa yang mereka tulis, tapi yang penting artikel ini dibaca/ditonton dulu agar iklan yang ada di dalamnya muncul. Kalau iklan sudah muncul, tugas utama media sudah selesai. Tugas selanjutnya adalah bagaimana membuat pembaca ini mengarahkan matanya ke artikel kedua, ketiga dan seterusnya. Artikel apa yang harus disajikan? Nobody cares, YPL.
Tombol Share yang selalu ditampilkan di website, aplikasi dan media sosial juga memperparah fenomena ini. Distribusi informasi menjadi sangat mudah sampai beberapa orang lebih suka mendistribusikan informasi daripada membacanya. “Nih saya kirim berita penting, saya hanya baca judulnya aja sih, emangnya isinya apa?” atau “Berita ini tidak bermanfaat buat saya, tapi saya bagikan ke orang lain siapa tau bermanfaat buat mereka” adalah kalimat yang sering dituturkan oleh pengecer berita. Fenomena ini mirip dengan “Duh makanan ini gak enak banget. Nih cobain deh.”
Information Overload tidak salah
Sebenarnya muncul fenomena IO ini tidak sepenuhnya hal yang buruk. Dari sisi perusahaan media tentu saja hal yang baik karena mengurangi biaya produksi konten dan menambah pemasukan dari iklan. Walaupun tentu jumlah kompetitor semakin banyak.
Di sisi konsumen pun IO berguna karena semakin banyak berita yang muncul, semakin banyak data yang tersedia. Walaupun tadi saya bilang banyak artikel hasil copy-paste, biasanya masing-masing artikel menambahkan sedikit data baru supaya artikelnya lebih lengkap. Kadang mereka juga bisa mewawancarai dua orang berbeda untuk membahas topik yang sama. Walau jawabannya mirip-mirip, pasti ada sedikit perbedaan yang bisa berguna untuk melengkapi informasi yang kita terima.
Saya sebagai investor perusahaan sangat menghargai ketersediaan data yang banyak, tidak peduli data itu berguna atau tidak, yang penting ada dulu. Jadi adanya IO ini tentu membantu sekali.
Hanya saja informasi yang muncul biasanya 1) belum tentu benar 2) belum tentu lengkap dan 3) belum tentu berguna. Sehingga cukup jelas bahwa tugas pembaca adalah menganalisa mana informasi yang benar, melengkapi informasi tambahan yang diperlukan dan menilai manfaat dari berita itu. Basically, pembaca harus menjadi jurnalis bagi dirinya sendiri.
Emotional Overload
Berita juga bisa memberikan efek luar biasa terhadap reaksi emosional pembacanya. Bahkan, menurut saya, sebagian besar berita, terutama judulnya, didesain tidak untuk menyajikan informasi tapi untuk mendapatkan reaksi emosional kita. Misal saja artikel berjudul “Wabah COVID-19 memakan korban 6.000.000 jiwa dalam 2 tahun!”. Apa yang anda dapatkan dari judul tersebut? Adakah informasi penting yang bisa kita utilisasi? Atau malah kita merespon dengan rasa cemas, takut, khawatir?
Bila menilai dari kalimat judul berita itu, kemungkinan besar kita tidak butuh membaca artikelnya. Siapa yang butuh tahu 6 juta meninggal dalam 2 tahun? Memangnya kenapa kalau begitu banyak orang meninggal dalam rentan waktu segitu? Apakah ke depan penambahan jumlah jiwa bertambah atau berkurang? Jadi sudah jelas bahwa tujuan utamanya adalah mendapatkan respon emosional dari konsumen.
Sayangnya, begitu banyak pembaca yang terjebak di perangkap ini. Mayoritas menjadi cemas dan takut, terjebak dalam reaksi negatif emosionalnya. Banyak juga yang langsung membagikannya ke grup-grup Whatsapp, mungkin dengan harapan di grup itu bisa khawatir bersama. “Duh makanan berita ini gak enak banget. Nih cobain baca deh.”
Siapa yang salah?
Anda tahu permainan dimana kita masuk ke satu kotak besar seukuran 2 orang dewasa dan di dalamnya ada kipas raksasa dan banyak uang kertas. Lalu kipas dinyalakan sehingga uang di dalamnya terbang kesana-kemari dan kita diberi waktu beberapa detik untuk menangkap sebanyak-banyak uang yang kita mau? Analogi IO seperti permainan ini dimana kotak itu diisi oleh seribu lembar uang Rp 1000 dan sepuluh lembar uang Rp 100.000. Pada umumnya semua peserta akan panik dan mencoba mengambil semua uang yang bisa diambil, tidak peduli warnanya apa. Lebih baik dapat 50 lembar Rp 1000 daripada susah-susah mencari selembar Rp 100.000
Permainan itu memang didesain untuk membuat peserta panik, jadi sebenarnya wajar-wajar saja kalau kita tidak berusaha menangkap Rp 100.000. Tujuan utama si pembuat permainan agar peserta dapat uang sekecil-kecilnya kan? Kalau peserta pasrah dan terjerumus dalam jebakan permainan pastilah dia tidak bisa mendapatkan uang yang banyak.
Sama dengan IO, kalau pembaca memilih berita berdasarkan judul yang menarik, menelan mentah-mentah berita yang disajikan dan bereaksi secara emosional. Kita tidak akan pernah mendapat informasi yang berguna, malahan menjadi distributor informasi sampah dan menyebarkan kekhawatiran, kemarahan dan ke-iri hati-an kepada orang-orang terdekat.
Kita tidak usah menghabiskan banyak tenaga untuk menyalahkan media dan teknik permainannya. Pilihannya tinggal dua 1) tidak baca berita atau 2) membaca berita dengan aturan main kita sendiri.
Tips menghadapi Information Overload
Ada beberapa solusi yang bisa saya bagikan untuk mengurangi dampak negatif dari IO, kita bahas per masalah ya:
Berita belum tentu benar
Cari sumber berita yang terpercaya. Kanal berita terkenal tidak selalu menyajikan kualitas berita yang baik. Malahan mereka bisa terkenal karena kuantitas berita yang banyak dan menarik, bukan dari tingkat kebenaran informasi. Biasanya saya lebih percaya kanal berita spesialis (Misalnya media yang hanya memberitakan tentang industri Sawit) dibanding berita Mainstream, karena jurnalis yang menulis di sana biasanya punya keahlian khusus di topik tersebut.
Saya juga suka membaca berita yang memiliki interaksi 2 arah, biasanya ada di forum terbuka. Sering terjadi Crosscheck informasi di sana sehingga kita bisa lebih mudah menganalisa kebenarannya. Kolom komentar di kanal berita umum gak termasuk ya, itu biasanya juga tidak ada gunanya.
Berita belum tentu lengkap
Kuncinya adalah mengumpulkan data dan fakta, bukan opini. Fakta adalah informasi yang benar. Biasanya berbentuk angka, statistik atau perkataan yang mengandung kepastian. Sedangkan kebalikannya fakta ialah opini dimana hal yang disebutkan itu belum tentu tepat.
“Harga batubara tembus $500! Perusahaan batubara berhasil meningkatkan keuntungan 200% Ytd, kinerja terus meningkat hingga akhir tahun!” Faktanya adalah perusahaan tersebut memang labanya meningkat 200% dibanding awal tahun ini, namun peningkatan kinerja hingga akhir tahun itu hanyalah opini atau prediksi saja, belum tentu terjadi. Yang perlu kita pertanyakan tentu saja seberapa mungkin kinerja perusahaan akan terus meningkat? Tentu saja bisa dimulai dari mencari tau penyebab naiknya laba perusahaan dan apakah itu masih akan tetap mendorong labanya sampai akhir tahun. Kembali kumpulkan fakta di artikel lainnya.
Berita belum tentu berguna
Relevansi adalah kunci. Saya pribadi jarang membaca berita yang tidak relevan dengan kegiatan saya sehari-hari. Saya tidak peduli dengan berita kecelakaan besar yang menewaskan banyak orang, atau bencana alam di suatu daerah, atau demo besar di suatu negara. Kecuali kejadian itu berdampak signifikan terhadap keadaan saya pribadi. Contohnya saya tidak peduli dengan kejatuhan ekonomi Sri Lanka, tapi saya peduli dengan perkataan Perdana Menteri Australia tentang Cina. Walaupun informasi kedua terlihat lebih sepele, tapi hal itu sangat relevan terhadap kegiatan analisa dan investasi saya.
Tidak perlu takut ketinggalan berita, karena jaman sekarang begitu banyak berita yang datang dan hilang. Kalau kita nggak nyambung waktu ngobrol tentang berita tertentu, nanti pasti ada kesempatan untuk kita bisa nimbrung lagi.
Emotional Overload
Carilah trigger emosionalnya dan belajar untuk mengabaikannya. “Krisis Energi Eropa Makin Parah, Harga Gas Bikin Marah.” Dari judul tersebut ada beberapa kata-kata yang sengaja dipakai sebagai trigger emosional seperti ‘Krisis’, ‘Parah’ dan ‘Marah’. Pembaca dibuat menjadi khawatir tagihan gas atau harga LPG yang dipakai di dapur akan melambung tinggi. Padahal kita belum tahu seberapa ‘Parah’ perubahan harga gas tersebut.
Bila trigger itu dihilangkan, maka judul yang kita tangkap adalah “Ada kejadian di Eropa yang merubah harga gas.” Jauh lebih tenang kan?
Selanjutnya kita perlu tahu konteks dari berita yang sebenarnya disajikan. “Gazprom, raksasa energi Rusia mengurangi pasukan gasnya ke Eropa dari 35 persen menjadi 20 persen. Hal ini menyebabkan naiknya harga gas patokan Eropa 28 persen menjadi $274 per MWh.” (Saya parafrase dari artikel aslinya). Nah, dari sini muncul data baru yang menyebutkan penyebab dan akibat dari kejadian di Eropa terhadap harga gas. Penurunan ekspor gas ke Eropa hanya turun 15% dan harga gas naik 28% di Eropa, angka yang tidak pantas disebut krisis yang parah kan?
Kurangi juga eksposur anda terhadap komunitas atau teman yang hanya membagikan judulnya saja, karena mayoritas trigger berada di judul artikel. Kurangi juga membaca artikel rekomendasi, karena rekomendasi itu didesain agar anda tidak berhenti membaca, tidak peduli isinya apa. Carilah berita, jangan berita mencari anda.
membedah informasi
Saya ambil contoh berita yang sering muncul di market. Artikel ini saya sadur dari kompas.com dan saya parafrase agar tidak terlalu panjang.
IHSG Anjlok, Harta “Crazy Rich” RI Menyusut Rp 18,89 Triliun dalam Sehari
IHSG ambruk pada perdagangan awal pasca lebaran. IHSG anjlok 319 poin atau 4,42 persen ke level 6.909,75 pada Senin (9/5/2022). Penurunan IHSG berdampak signifikan pada nilai kekayaan crazy rich Indonesia.
Orang terkaya Indonesia saat ini, Robert Budi Hartono dan saudaranya Michael Bambang Hartono merupakan pemilik mayoritas saham BBCA. Dimana pada hari ini nyaris menyentuh ARB dengan penurunan 6,46 persen ke level 7.600. Kekayaan mereka tergerus 1,3 miliar dollar AS, setara Rp 18,89 triliun.
Mengutip data Forbes real time billionaires, per senin (9/5/2022) nilai kekayaan Robert Budi Hartono 22,0 miliar dollar AS (-5,76 persen) dan Michael Hartono 21,2 miliar dollar AS (-5,76 persen).
Kompas.com (9/5/2022)
Mari kita bedah menggunakan beberapa tips yang saya sebutkan di atas.
Hilangkan trigger emosional. ‘Anjlok’, ‘Ambruk’, ‘Crazy Rich’, dan angka 18,89 triliun bisa kita abaikan sehingga judul berita menjadi “IHSG turun, harta orang kaya Indonesia juga turun.”
Cari sumber terpercaya. Karena kali ini beritanya tentang pasar saham Indonesia, tentu saja berita paling akurat ada di website IDX. Di website itu kita bisa pastikan apakah benar terjadi penurunan IHSG dan apakah angkanya cocok 4,42 persen. Selain itu kita bisa juga cek saham BBCA yang disebut di sana dan lihat pergerakan harganya, apakah benar 6,46 persen? Bahkan kalau anda penasaran bisa juga cek data di Forbes real time billionaires, sekalian lihat metodologi perhitungan nilai kekayaan Hartono bersaudara.
Konteks. apakah penurunan kekayaan Hartono bersaudara Rp 18,89 Triliun itu sefantastis yang diberitakan? di artikel itu disebutkan bahwa kekayaannya menurun 5,76 persen artinya kalau kita punya uang 1 juta, kita hanya kehilangan 57.600 saja kan?
Lalu bagaimana Forbes bisa tahu harga kekayaan mereka, sampai real time segala? Ternyata mayoritas data Forbes berasal dari market cap perusahaan publik yang dimiliki Hartono bersaudara, artinya jumlah kepemilikan di BBCA, RANC, TOWR dan lain sebagainya. Jadi sebenarnya penyusutan 18,89 Triliun itu hanyalah penurunan harga sahamnya.
Bila kita cek harga saham BBCA (perusahaan terbesar miliknya), pada 9 Mei 2022 harganya turun dari 8125 ke 7600, memang terlihat banyak. Tapi bila kita menelusuri lebih dalam, harga BBCA pada 19 April 2022 berada di 7625. Jadi harganya hanya kembali ke valuasi 3 minggu yang lalu, tidak ada yang fantastis.
Kumpulkan data. Setelah kita tahu bahwa yang sebenarnya dibahas adalah pergerakan harga saham BBCA dan teman-temannya. Kita bisa mencari tahu pergerakan saham lainnya, apakah fenomena ini hanya terjadi pada BBCA saja atau juga berpengaruh pada saham lainnya?
Untuk penurunan IHSG, bisa zoom out ke nilai IHSG beberapa waktu lalu sehingga terlihat jelas seberapa signifikan penurunan 319 poin ini sebenarnya. Ternyata bila kita perhatikan setahun terakhir saja (IHSG 6000-an), ‘Anjlok’nya IHSG ini tidak berarti apa-apa.
Relevansi. Apakah turunnya saham BBCA berpengaruh terhadap portofolio investasi kita? Bila anda bukan investor saham, berita seperti ini tidak perlu anda baca. Namun, bila anda seorang investor saham maka bisa di cek relevansinya terhadap saham yang anda punya dan kepada saham yang anda incar.
Penurunan IHSG pada umumnya berpengaruh terhadap saham-saham dengan market cap besar, tapi tidak semua. Pada hari yang sama saham UNVR malah naik 3%, saham TPIA tidak bergerak, saham BYAN malahan naik 11%. Apalagi bila anda berinvestasi di perusahaan yang tidak terkenal seperti IGAR (-2%), MLIA (+5%) atau CCSI (+0.6%). Saham seperti itu tidak akan terpengaruh banyak oleh pergerakan IHSG
Kesimpulan. Setelah kita membedah informasi tersebut, sekarang pembaca tinggal memutuskan langkah apa yang harus dilakukannya. Bila memang informasi yang kita baca itu tidak relevan dan tidak berguna bagi pembaca, maka langkah terbaik adalah lupakan dan lanjutkan kegiatan lainnya. Namun, bila informasi tersebut berpengaruh pada investasi kita, maka dengan analisa sendiri, kita bisa mengambil keputusan berlandaskan data yang benar dan akurat tanpa gangguan dari emosi diri sendiri.
tambahan
Ada orang yang memang secara natural memiliki respon emosional yang sangat tinggi. Walaupun mereka tahu bahwa berita itu bohong, tidak masuk akal, berlebihan dan juga sudah mempraktekkan beberapa tips di atas; mereka tidak bisa membendung reaksi emosionalnya sehingga fakta dan logika yang ada di kepalanya tertutupi oleh rasa cemas, marah, euforia maupun kebingungannya.
Bagi anda yang merasa seperti itu, lebih baik membatasi eksposur terhadap pemberitaan media gratisan. Lebih baik tidak usah ikut group Whatsapp, ikut group Telegram, buka website berita sama sekali daripada kehidupan sehari-harinya terganggu oleh informasi yang tidak penting.
Saya lebih menyarankan membaca berita berbayar dari perusahaan jurnalistik yang terpercaya. Biasanya gaya penulisannya jauh lebih kalem dibanding media gratisan. Mereka tidak perlu mencari pengiklan sebanyak-banyaknya karena mereka sudah dapat pemasukan dari anda, pelanggan yang membayar.
Berita yang anda dapatkan, saya yakin, akan lebih berkualitas dibanding kebanyakan orang. Memang penyampaian informasi mungkin sedikit lebih lambat tapi isinya lebih bermanfaat dan akurat. Biaya berlangganan puluhan hingga ratusan ribu rupiah tidak ada artinya dibandingkan kesehatan mental anda.