Salah satu hal yang sebenarnya cukup sering ditanyakan orang-orang adalah cara untuk screening saham sebelum mulai menganalisanya. Banyak website modern yang memberikan akses screening saham dengan parameter PER, PBV, ROE, NPM, MA100, Std Dev -2, dll. Tentu saja fasilitas ini harus kita gunakan dengan baik, kalau tidak ya kita pasti kalah cepat dengan investor lainnya. Namun, kali ini saya ingin memberikan alternatif cara screening saham yang ternyata sudah dipraktekkan oleh gurunya Warren Buffett, Benjamin Graham, sekitar 70 tahun yang lalu.
Benjamin Graham menulis buku The Intelligent Investor di tahun 1949. Pada saat itu belum ditemukan komputer ataupun internet seperti yang sudah kita miliki saat ini. Jadi beliau harus menilai saham tersebut dari majalah yang merangkum informasi perusahaan-perusahaan publik di USA. Untuk menganalisanya juga harus membaca laporan dalam media cetak (saya sampai sekarang belum pernah pegang Annual Report dalam bentuk buku). Jadi bagaimana cara Benjamin Graham screening sahamnya?
Ternyata cukup simpel dan masih sangat efektif di jaman ini. Berikut adalah beberapa poin-poin penting yang beliau berikan dan saya tambahkan beberapa pertanyaan-pertanyaan yang bisa anda pikirkan sembari menganalisa hasil screening itu.
Performa Saat ini mengecewakan
Perjalanan perusahaan tidak akan selalu mulus, dalam artian omzet dan keuntungan tidak akan selalu meningkat setiap tahunnya. Akan ada masanya laba perusahaan itu menurun, kadang karena ada masalah internal atau karena pengaruh eksternal. Maka sangat penting untuk menganalisa performa perusahaan secara historis (5-10 tahun kebelakang) dan melihat keadaan perusahaan saat ini.
Apakah penyebab penurunan ini? Bila penyebabnya adalah masalah internal seperti manajemen inventory yang kurang efisien, maka cari tahu apakah manajemen bisa memperbaiki permasalah tersebut. Bila penyebabnya adalah masalah eksternal seperti menurunnya APBN untuk sektor tertentu, cari tahu apakah ada kemungkinan naiknya APBN tersebut di masa depan.
Apakah manajemen mengakui penurunan ini? Kadang ada manajemen yang tidak mau mengakui permasalah tersebut, biasanya dengan memutar-balikkan angka. Bukannya menulis laba turun 15% dibanding tahun lalu, manajemen malah memberikan apresiasi karena laba bersih berhasil mencapai 80% dari target. Bila manajemen mengakuinya, apakah beliau menyebutkan penyebab kejadian tersebut? Apakah beliau menyalahkan faktor eksternal, internal, atau malah menyalahkan pihak yang tidak bersangkutan?
Apa langkah perusahaan untuk mengatasinya? Perusahaan dan manajemen yang bagus akan mempunyai “Plan B” untuk mengatasi hal ini. Tentu kadang rencana itu tidak berhasil, namun rencana yang tidak berhasil lebih bagus dibanding tidak ada rencana sama sekali.
Contoh: PT. Sarimelati Kencana Indonesia (PZZA) adalah pemegang tunggal waralaba Pizza Hut di Indonesia. Berdasarkan laporan keuangan Q3 2020, perusahaan mengalami kerugian laba bersih walaupun sejatinya penurunan omzet hanya 11% saja. Secara garis besar, penurunan ini disebabkan oleh faktor eksternal, karena adanya larangan dine-in di resto, terutama di kota besar. Lalu ada faktor timing juga, dimana PZZA sedang gencar-gencarnya ekspansi gerai yang membutuhkan banyak perekrutan karyawan dan penambahan aset tetap dan aset sewa, sehingga beban gaji dan depresiasi juga meningkat banyak.
Manajemen pun sadar akan hal ini dan sudah melakukan beberapa hal yang cukup positif, seperti menjual pizza di pinggir jalan, promo all-you-can-eat dan banyak promo lainnya yang lebih mengarahkan konsumen untuk belanja di Pizza Hut Delivery (PHD). Langkah terbarunya, PZZA juga akan membuat Food Truck di Bandung yang fungsinya mirip dengan jualan di pinggir jalan, namun lebih tertata dan pizzanya juga lebih layak dimakan. Terakhir, manajemen juga berusaha untuk tidak melakukan PHK karyawan, sehingga mereka bisa mempertahankan moral internalnya.
Sektor atau perusahaan sedang tidak populer
Tidak bisa dipungkiri bahwa ada beberapa sektor yang mood-mood an. Kadang dicintai pasar, kadang dibuang oleh pasar seolah-olah sudah tidak punya masa depan. Beruntungnya, kondisi di mana suatu sektor itu dibenci akan membuat banyak harga perusahaan-perusahaan bagus di dalamnya juga turun. Di sini akan muncul peluang membeli perusahaan bagus di harga yang murah.
Kenapa sektor tersebut dibenci? Kadang industri itu tidak disukai karena memang tidak ada pertumbuhan, atau mayoritas perusahaan di dalamnya mengalami penurunan laba. Namun, ada kalanya impresi negatif itu disebabkan oleh isu-isu yang tidak jelas juga. Contoh saja isu bahwa pemerintah kehabisan dana dan perlu banyak utang untuk membangun konstruksi tol dalam negeri, jadi semua konstruksi akan mangkrak. Bila kita benar-benar memperhatikan secara kualitatif dan kuantitatif, maka isu seperti itu tidak ada dasar konkritnya.
Kenapa perusahaan tersebut dibenci? Seperti layaknya industri, ada juga perusahaan yang sedang tidak diminati oleh pasar. Tentu saja penurunan kinerja perusahaan terus-menerus mengakibatkan turunnya pamor perusahaan, investor pun sebaiknya menghindari berinvestasi di sini. Namun, bila penurunan itu hanyalah isu belaka, sedangkan angka kinerjanya tetap baik, maka saham perusahaan ini bisa menjadi peluang yang baik.
Apakah hanya karena kondisi pasar? Walaupun sangat jarang, ada kondisi dimana pasar saham secara keseluruhan dinilai kurang menarik oleh para investor dan trader. Misalnya seperti krisis keuangan 2008 atau krisis Covid-19 2020 ini. Bila pasar menurun drastis, maka mayoritas harga saham juga akan turun, tidak peduli sektor ataupun perusahaan. Bila kita percaya bahwa kondisi pasar akan membaik di masa depan, maka di sinilah peluang terbesar akan muncul.
Contoh: Saat ini salah satu sektor yang paling pesimis adalah sektor konstruksi. Logikanya sederhana, saat dimana banyak pekerja melakukan WFH otomatis gedung kantor dan jalan tol akan jarang digunakan. Adanya PSBB dan ketakutan penularan COVID-19 juga menyebabkan orang-orang takut jalan-jalan ke Mall. Maka, kita pastinya berpikir dengan banyaknya bangunan kosong, pasti sedikit sekali perusahaan yang perlu mengonstruksi gedung baru. Apalagi pemerintah juga mengalirkan banyak dana APBN ke penanggulangan COVID-19 ini, maka dana untuk konstruksi akan semakin tipis.
Total Bangun Persada (TOTL) adalah salah satu perusahaan konstruksi yang seluruh konsumennya berasal dari perusahaan swasta, jadi tidak terlalu terpengaruh dengan APBN pemerintah. Lalu TOTL juga memiliki stok backlog pengerjaan yang sedang dalam penyelesaian, sehingga masih ada pemasukan selama 2-3 tahun ke depan. Terakhir, TOTL juga tidak memiliki hutang bank, sehingga dalam masa sulit seperti ini, mereka tidak perlu membayar bunga pinjaman.
pasar belum Mengakui Potensi perusahaan
Ada juga perusahaan yang belum banyak diketahui publik dan fund besar atau image baik perusahaan itu belum terbentuk di pemikiran investor umum. Biasanya ini terjadi pada perusahaan kecil atau start-up yang memiliki potensi tinggi. Tentu saja pembuktian potensi itu perlu waktu yang tidak pendek, sehingga terkadang potensi itu juga tidak tercermin secara kuantitatif. Maka dari itu tidak banyak individu maupun institusi yang bisa mengukur potensi tersebut sehingga pasar belum mengetahui nilai intrinsik yang sesungguhnya.
Seberapa yakin kita dengan potensi itu? Semua perusahaan pasti ada potensi, namun tidak semuanya bisa memiliki kemampuan untuk mewujudkan potensi itu. Perhatikan beberapa faktor pendukung yang bisa mewujudkan potensi tersebut. Misalnya saja perusahaan kecil membutuhkan manajemen hebat untuk membawa perusahaan itu ke tingkat yang lebih tinggi. Hati-hati dengan manajemen yang hanya menebar janji saja tanpa ada bukti konkritnya.
Apakah ada pemain besar di belakangnya? Dalam hidup atau bisnis, cara cepat untuk naik kelas adalah dengan dibantu oleh pihak yang jauh lebih jago atau lebih besar dibanding kita. Seperti quote dari Isaac Newton “If I have seen further it is by standing on the shoulders of Giants“. Namun perlu hati-hati, terkadang pemain besar itu bisa menguntungkan kalau banyak memberikan resources dan knowledge, tapi juga bisa merugikan kalau ternyata perusahaan ini hanya digunakan sebagai Cash Cow saja.
Apakah harganya sudah price-in dengan potensinya? Sebagai value investor, tentu kita mau membeli saham yang berpotensi baik dan di harga murah. Maka percuma bila kita membeli saham perusahaan berpotensi namun di harga yang mahal, alias harganya sudah mencerminkan potensi perusahaan tersebut. Misalnya saja saat ini laba bersih perusahaan itu 100 dan kita prediksi dalam 5 tahun ke depan bisa mencapai 500. Bila saat ini harga perusahaan itu 5000 (setara 10x laba bersih 5 tahun ke depan) maka harga tersebut sudah price-in dengan potensinya dan bukan investasi yang bagus lagi.
The Intelligent Investor mengingatkan kita bahwa perusahaan publik yang paling kecil itu masih lebih besar dibanding banyak perusahaan privat lainnya (Restoran, minimarket, kos-kosan, dst). Maka kita tidak boleh meremehkan perusahaan tersebut hanya karena valuasinya yang rendah. Bagaimanapun untuk menjadi perusahaan publik itu tidak mudah.
Banyak sekali contoh perusahaan kecil dengan potensi tinggi di jaman dulu, sebut saja GOOGL, AMZN, MTDL, TSLA. Kalau yang saat ini masih kecil dan berpotensi besar memang agak susah dicari karena hanya orang-orang tertentu saja yang bisa melihat potensi itu dengan jelas. Mungkin contoh yang bisa saya gunakan adalah PT. Supra Boga Lestari (RANC) yaitu pemilik supermarket Ranch Market dan Farmer’s Market. Saat ini jumlah gerai mereka sekitar 40-an, sangat jauh di bawah pemain lama seperti Hypermart. Namun dengan segmentasi pasar middle-up, item list yang beragam dan merk “supermarket mewah” yang sudah mulai terbentuk, seharusnya potensi bagi RANC masih sangat dalam untuk digali.
Catatan: Tidak semua saham yang disebutkan di atas dimiliki oleh Paskalis Investment. Saya tidak merekomendasikan saham-saham tersebut karena artikel ini tidak bertujuan untuk mengulas suatu perusahaan tertentu.