Sepanjang tahun 2023 Portofolio Paskalis Investment (PI) mengalami peningkatan sebesar 33.85%, lebih tinggi dibanding peningkatan IHSG sebesar 6.16%. Reksadana Sucorinvest Flexi Fund (SFF) mengalami penurunan nilai NAV -6.67%.
Sebagai catatan, SFF saya gunakan sebagai alternatif karena produk ini memiliki track record yang bagus, manajer investasi dengan nama besar dan portofolio asetnya yang tidak terbatas pada saham saja sehingga mirip dengan apa yang saya lakukan.
Pada tahun ini PI akhirnya bisa mencapai return total di atas 100% yang artinya mencapai double pertama. Sebagai investor compounder tentu saja hal ini sangat menggembirakan karena milestone investor biasanya dihitung melalui berapa kali dia bisa double his/her money. Destinasi saya berikutnya adalah x4 atau return 300%. Onwards!
Kekhawatiran yang selalu ada
Portfolio Turnover PI tahun ini sebesar 75%, angka yang sangat tinggi untuk ukuran investor jangka panjang. Angka tersebut lebih rendah dibanding tahun lalu yang mencapai 116%, namun alasan perubahan komposisi porto itu jauh berbeda. Tahun lalu saya mengurangi durasi kepemilikan saham yang biasanya hitungan tahun menjadi hitungan kuartal karena mengejar hasil laporan keuangan kuartalan perusahaan sehingga saya sering pindah-pindah perusahaan. Tahun ini saya belajar untuk berani berkonsentrasi di 2-3 perusahaan dengan nominal yang signifikan. Maka sebenarnya turnover 75% itu hanya disebabkan oleh pembelian 7 saham saja.
3 bulan pertama tahun 2023 saya lewati hanya dengan menambah sedikit perusahaan batubara (pada bulan ini harga Newcastle masih di atas $200) karena saya sangat disibukkan oleh pekerjaan sebagai direktur perusahaan.
Baru pada 3 bulan berikutnya, tepatnya ketika laporan keuangan FY 2022 dan Q1 2023 mulai bermunculan, saya melakukan bersih-bersih porto. Saya menjual sekitar 50% porto dengan posisi rugi 5-15%. Semua saham ini berasal dari perusahaan komoditas yang saya beli berdasarkan tebak-tebakan laporan keuangan kuartalan.
Pada momen ini saya merasa sangat tidak nyaman karena ada perubahan gaya investasi dengan durasi yang pendek-pendek, apalagi perusahaan yang saya beli adalah perusahaan komoditas yang tidak sedang berada di harga yang sangat murah. Jadi setiap minggu hati saya dag-dig-dug menunggu update harga komoditas terbaru dan terus merevisi estimasi eps kuartal depan berdasarkan pergantian data itu. Mood saya dikendalikan oleh harga komoditas. Perasaan senang muncul ketika harganya naik, tapi ketika harganya turun saya merasa khawatir bila harganya terus turun ke depannya. Berasa seperti spekulator.
Pada masa ini saya bermimpi ingin punya perusahaan yang lebih stabil dibanding perusahaan komoditas, jadi saya tidak perlu khawatir dengan hal-hal seperti ini. Tapi setiap kali saya menganalisa perusahaan yang bagus dan stabil, saya tidak pernah membelinya karena terbentur oleh valuasi yang mahal. Tentu saja saya mengedepankan logika dibanding emosi, jadi saya tetap memilih perusahaan yang kinerjanya volatil tapi murah dibanding yang stabil tapi mahal.
Hingga suatu hari saya mendapat kesempatan berdiskusi dengan investor lainnya yang lebih hebat dari saya. Pada saat itu saham di porto yang signifikan tersisa PTBA saja dan hari itu adalah H-2 dari cum date pembagian dividen 1,000/lembar. Average saya 2,000, harga saat itu 3,800 dan harga ICI 3 di sekitar $72 turun signifikan dari bulan sebelumnya yang masih $90.
Saya bercerita bahwa sedang galau apakah PTBA ini dijual atau tidak. Dividen 1,000 sudah jelas akan dapat di depan mata, namun setelah dividen bagaimana harga sahamnya? ICI 3 turun banyak dari $90 ke $72, apakah mungkin akan naik lagi ke $90? Memang, regardless jual atau tidak saya tetap untung karena pembelian saya yang cukup rendah apalagi sudah terima dividen besar sebelumnya, namun bila alasan tidak jual hanya karena “modal sudah balik” saya merasa itu alasan yang juga dipakai para penjudi amatir di kasino. Ujung-ujungnya memang tidak rugi, tapi juga tidak untung. Kapan bisa compounding kalau begitu terus?
Pertama saya coba bedah memakai logika dulu. Pada harga 3,800 dan pasti akan terima dividen 1,000 artinya “modal” saya di PTBA adalah 2,800. Pertanyaannya setahun ke depan berapa besar keuntungan yang bisa dihasilkan perusahaan dengan asumsi harga ICI 3 di sekitar $80? dari hitungan kasar saya sekitar 400 per lembar dimana artinya PTBA memiliki PE 7x. Tentu saja bukan valuasi yang murah, apalagi untuk perusahaan siklikal.
Tetapi yang mendorong keputusan saya untuk segera menjual saat itu juga adalah pertanyaan yang diajukan oleh teman investor itu, “Kalau kamu jual, emang ada pilihan saham lain buat pindah?” dan jawabannya ADA! perusahaan besar, cukup stabil, cukup murah walaupun memiliki stigma negatif karena harga sahamnya gak kemana-mana. Berdasarkan pertanyaan itu, saya langsung menjual habis PTBA dan dua hari kemudian membeli perusahaan Indofood sebanyak 30% porto.
Fast forward 6 bulan kemudian, bagaimana perasaan saya setelah setengah porto (saya beli lagi hingga 50%+) diisi oleh perusahaan yang cenderung stabil, market leader, manajemen yang tidak buruk dan memiliki moat luar biasa besar? ternyata tidak seindah di mimpi awal.
Lama-kelamaan rasa khawatir itu muncul kembali. Penyebabnya beragam, mulai dari harga gandum yang turun tapi tidak menaikkan gross profit margin, melihat harga indomie yang sering didiskon di supermarket, merasakan sendiri penurunan ekonomi di Indonesia dan juga melihat daya beli di Nigeria dan Timur Tengah tidak sebaik tahun lalu karena inflasi yang tinggi. Hingga akhirnya saya malah sangsi sendiri apakah analisa di awal itu tepat, atau harga belinya terlalu mahal (PE 6-7x).
Saya pun jadi merenung, apakah rasa khawatir itu adalah perasaan yang wajar bagi seorang investor? Karena banyak sekali variabel yang diluar kendalinya, apalagi untuk perusahaan sebesar INDF dan dengan posisi saya sebagai minority shareholder. Apakah saya perlu berpindah lagi di perusahaan lain yang lebih nyaman? rasanya percuma. Walaupun saya memindahkan semua porto ke instrument obligasi negara, yang dianggap mayoritas investor sebagai aset yang sangat aman, saya rasa tetap banyak variabel yang akan menimbulkan rasa khawatir lagi seperti ketika suku bunga BI naik-turun, ketika spread dari Obligasi US dengan Indonesia yang melebar-menyempit dan seterusnya.
Saya jadi menyadari bahwa kekhawatiran adalah part of the game investasi, layaknya cedera adalah bagian dari olahraga. Tidak bisa dihindari sepenuhnya, yang bisa kita lakukan hanya belajar menerimanya.
Valuasi menentukan opini
Salah satu saham yang ada di porto PI yang menarik untuk dibahas adalah WIIM. Pembelian WIIM saya lakukan pada akhir tahun 2022 dengan dibantu oleh teman-teman investor lainnya. Thesis pembelian pada saat itu cukup sederhana, yaitu perusahaan rokok Tier 2 memiliki peluang untuk terus menaikkan harga karena harga rokok Tier 1 yang juga terus naik. Bedanya, rokok Tier 1 terpaksa menaikkan harga karena cukai rokok yang naiknya tinggi, sedangkan Tier 2 menaikkan harganya dengan senang hati karena cukainya yang tidak naik banyak. Sehingga kenaikan harga jual akan langsung jatuh ke bottom line.
Namun, pada masa itu laba dari WIIM belum naik dan harga sahamnya juga cenderung tidak kemana-mana. Hal itu mungkin disebabkan oleh rendahnya conviction investor lainnya mengenai thesis tadi. Penyebab utamanya adalah perusahaan seperti WIIM hanya boleh memproduksi 3 milyar batang rokok SKM setahun yang artinya bila perusahaan ingin terus menumbuhkan omzet SKM, menaikkan harga adalah satu-satunya cara.
Tentu saja hal itu membuat mayoritas investor berpendapat bahwa omzet WIIM ada limit nya sehingga tidak bisa bertumbuh terus-terusan. Ditambah lagi pada masa itu volume penjualan dari perusahaan rokok Tier 1 masih cukup kuat sehingga semua orang menjadi sangsi mengenai kemampuan WIIM mengambil pangsa pasar GGRM, HMSP dan Djarum. Saya pun memiliki pemikiran yang sama, sehingga waktu itu pembelian WIIM hanya mengisi sebagian kecil porto (mayoritas porto masih komoditas).
6 bulan kemudian laporan Q1 2023 WIIM keluar dan hasilnya luar biasa, net profit naik 40% dibanding kuartal sebelumnya. Pada awal tahun 2023 GGRM menaikkan harga rokoknya secara masif. Investor GGRM bersorak-sorai karena laba perusahaan pasti membaik. Namun, investor WIIM malah bersorak lebih meriah karena artinya jarak harga antar rokok Tier 2 dan Tier 1 makin jauh. Tentu saja ini kesempatan besar bagi WIIM untuk menaikkan harga jualnya.
Manajemen juga berpikiran yang sama sehingga mereka terus meningkatkan harga rokok SKM nya yang langsung berpengaruh positif ke laba bersihnya. Momen Q2 yang harusnya lesu karena terdampak puasa seolah tidak pengaruh terhadap laba bersih WIIM yang malah naik 20%. 3 bulan berikutnya, karena volume yang sudah pulih dan lagi-lagi WIIM menaikkan harga rokoknya, laba perusahaan naik 20% lagi. WIIM menjadi perusahaan dengan pertumbuhan luar biasa. Tentu saja harga sahamnya juga naik gila-gilaan dari 800 rupiah pada awal tahun hingga mencapai di atas 3000 rupiah.
Di momen seperti ini, seperti biasanya, banyak orang yang belum memiliki WIIM mulai merasa FOMO. Sebenarnya ini fenomena yang lazim yang sudah berulang-ulang terjadi di pasar modal, seperti pada momen batubara, bank digital, farmasi, dst…
Tapi ada fenomena lain yang terjadi di kalangan investor. Pandangan investor terhadap WIIM yang dulunya pesimis berubah 180 derajat menjadi sangat optimis. Kami sudah tidak khawatir lagi dengan keterbatasan volume SKM, kami semua merasa bahwa perusahaan masih terus bisa menaikkan harga jualnya. Toh tahun depan cukai rokok sudah dipastikan naik lagi, jadi gap harga antara Tier 2 dan Tier 1 bakal melebar lagi sehingga kejadian pada 2023 bisa dengan mudah terulang tahun depan.
Investor WIIM ini, setidaknya yang saya kenal, bukan berubah menjadi spekulator atau ikutan FOMO. Mereka tetap melakukan analisanya, malah lebih intens dari biasanya, dan tetap menggunakan hitungan yang cukup masuk akal. Pada bulan Oktober 2023, valuasi WIIM mencapai PBV 4x dan PE 14x. Namun, berdasarkan perhitungan kami, seharusnya PE perusahaan tahun depan bisa turun menjadi 8x karena laba yang terus meningkat.
Bila itu terjadi, dan kami yakin pasti terjadi maka tidak perlu Margin of Safety yang lebar. Mereka yang biasanya minta MoS 30-50%, jadi berani membeli saham dengan MoS 20%. Kalau jembatannya sudah pasti kuat, ngapain mengurangi muatan truk?
Menurut saya mereka adalah investor rasional karena tetap menganalisa menggunakan basis data bukan angan-angan. Namun investasi tidak bisa dilakukan hanya dengan data dan angka tapi juga menggunakan intuisi dan perasaan. Nah terkadang memang valuasi menentukan opini. Ketika semua data berkata bagus maka opini pesimis itu menjadi hilang, padahal kita perlu rasa pesimis itu untuk mengurangi potensi kerugian investasi.
apa itu Margin of safety?
Pada bulan terakhir tahun 2023, muncul kabar buruk yang tidak pernah terbayangkan. Penjualan rokok WIIM turun beberapa bulan terakhir. Bukan karena regulasi, simply karena gak laku. Manajemen yang sudah tau datanya duluan bertindak cepat dengan mengeluarkan rokok SKM versi baru dengan harga yang lebih murah.
Dengan adanya berita ini, hitung-hitungan investor WIIM berubah total. Tidak hanya volume penjualan, tapi Average Selling Price rokoknya juga harus dihitung ulang. Ketika hitungan labanya keluar, MoS yang tadinya dikira ada 20% menjadi hilang diterpa angin.
Harga saham WIIM turun 40% dalam waktu 3 hari. Banyak sekali investor yang kehilangan uang dalam jumlah besar di waktu yang sangat singkat. Profit PI juga turun drastis karena hal ini, namun untungnya tidak rugi karena saya tidak pernah average up di tahun 2023.
Beberapa hari kemudian semua investor terus membahas WIIM. Salahnya dimana? salahnya siapa? bagaimana bisa terjadi dan seterusnya. Saya pun juga membicarakan hal ini dengan berbagai rekan investor. Satu hal yang sangat melekat hingga hari ini adalah celetukan dari salah satu rekan investor yang bijaksana. Beliau bilang bahwa sangat berbahaya ketika target harga yang kita pasang hanya tercapai bila Thesis kita harus benar dan tidak boleh ada yang melenceng.
Saya jadi merenung, apa itu Margin of Safety?. Biasanya seorang investor akan mencoba meraba laba normal dari suatu perusahaan, misalnya 100 per saham, dan menilai valuasi yang wajar bagi perusahaan ini, misalnya PE 8x. Maka ketika investor itu minta MoS minimal 50%, maksimum harga pembelian yang dia tolerir adalah 400 per saham. Lalu ketika saham tersebutnya harganya naik, investor tersebut akan melakukan penjualan di sekitar harga 700-900 tergantung pandangannya ke depan. Maka potensi keuntungannya sekitar 100%. Bila MoS yang diminta 30% maka potensi keuntungannya hanya 40% dan seterusnya.
Tapi itu bukanlah fungsi utama dari MoS. Fungsi utamanya adalah bila ternyata penilaian laba dan/atau valuasi kita salah, maka investor tidak sampai rugi banyak, syukur-syukur masih ada untung sedikit. Katakanlah ternyata laba perusahaan normal hanya 80 dan valuasi wajar hanya 6x maka harga wajar saham tersebut hanyalah 480. Ketika kita melakukan pembelian dengan MoS 50% (400) maka at least kita tidak mengalami kerugian, masih bisa untung 20% bila harganya kembali ke nilai wajar. Semakin besar MoS, semakin besar juga bantalan kerugian itu, vice versa.
Seorang investor tidak bisa menebak secara presisi laba perusahaan ke depan. Kita tidak bisa memaksakan valuasinya kepada pasar. Data perusahaan yang ditampilkan di laporan keuangan tidak bisa dipercayai seluruhnya. Terlebih, kita semua tidak tahu hari esok bakal ada kejadian apa yang merubah seluruh thesis investasi kita. Maka, sepede-pedenya investor, mereka tetap perlu MoS yang lebar, bukan sebagai alat pengukur potensi keuntungan, tapi sebagai jaring pengaman aset investasinya.
serba nanggung
Pada awal tahun 2023 saya tidak banyak melakukan kegiatan jual beli saham karena kesibukan dan juga menunggu kinerja dari perusahaan di porto PI. Tahun ini sepertinya saya juga tidak akan melakukan banyak transaksi, bukan karena sibuk tapi karena lagi tidak ada ide yang menarik.
Perusahaan komoditas secara valuasi terlihat menarik hanya karena kinerja masa lalu padahal kita semua tahu bahwa kinerja beberapa kuartal ke depan pasti menurun. Perusahaan non-komoditas juga sedang mengalami penurunan kinerja karena daya beli masyarakat yang digerus oleh kenaikan harga bahan pokok, sayangnya penurunan kinerja itu tidak diimbangi dengan penurunan harga saham yang drastis sehingga valuasinya masih belum cukup murah.
IHSG sendiri mencapai titik tertingginya di akhir tahun 2023 akibat beberapa emiten yang harganya terus digoreng. Saya sih berharap harga emiten itu akan menjadi normal kembali secara cepat agar IHSG juga ikutan rontok. Harapannya ketika IHSG jatuh, maka saham bagus lainnya juga ikutan hancur supaya valuasinya jadi murah. Bila hal itu beneran terjadi, semoga kita semua siap untuk mengambil langkah yang tepat.