Skip to content

Annual Letter 2021

Sepanjang tahun 2021 Portofolio Paskalis Investment (PI) mengalami peningkatan sebesar 12.04% yang sedikit lebih tinggi dibanding peningkatan IHSG sebesar 10.08%. Per tahun ini, saya menambahkan satu reksadana sebagai pembanding kinerja PI yaitu Sucorinvest Flexi Fund (SFF). 2022 termasuk tahun yang sangat baik bagi reksadana ini dimana mereka bisa mencapai pertumbuhan 22.94% YtD dan berhasil menduduki peringkat 30 dari 1,635 reksadana yang terdaftar di Bareksa.

Portofolio turnover PI tahun ini mencapai 35% yang artinya ada sepertiga dari total portofolio PI yang saya tambah posisi atau jual habis. Sekitar sepertiga juga dari turnover tersebut (~10%) berasal dari saham IPO.

Ya, di saat tidak ada perusahaan yang menarik untuk diinvestasikan, biasanya saya berspekulasi IPO dengan cash yang tersedia. Walaupun hasilnya tidak terlalu besar, kegiatan ini bisa mengisi waktu luang saya, terutama saat sedang bosan menganalisa perusahaan. Apalagi sekarang pembelian saham IPO sangat dimudahkan dengan adanya fitur e-IPO yang baru diluncurkan tahun ini.

Saya juga selalu mengingatkan diri sendiri kalau pembelian IPO ini murni spekulasi dengan maksud entertainmen saja. Saya tidak pernah memasukkan nilai besar (<5% porto) dan selalu bertransaksi dengan cepat. Saya pegang IPO paling lama hanya 22 hari dibandingkan perusahaan yang masih saya investasikan sejak 870 hari yang lalu sampai sekarang.

PI – IHSG – SFF

Ada beberapa alasan mengapa SFF saya pilih sebagai pembanding kinerja PI selain IHSG. Pertama, Sucorinvest sendiri adalah nama yang cukup besar di dunia Reksadana dan selama ini tidak ada berita buruk mengenai perusahaannya. Lalu, SFF adalah produk yang sudah dibuat sejak 2006, bukan Reksadana baru yang diluncurkan hanya untuk mengikuti trend tertentu (ESG, Property, dll). Ketiga, SFF memiliki struktur biaya yang standar dengan kinerja yang cukup baik selama 14 tahun ini. Terakhir, instrumen investasi yang dipilih (dan diperbolehkan) mencakup Pasar Uang, Obligasi, dan Saham sehingga agak mirip dengan yang PI lakukan.

Saya pribadi bisa menyarankan para pembaca yang ingin berinvestasi pasif di pasar Indonesia dengan membeli IHSG (melalui Reksadana indeks IDX30 atau LQ45) atau SFF. Tergantung eksposur yang ingin anda raih (Saham saja vs Pasar Uang + Obligasi + Saham).

Pandemi Investasi

Walaupun pengalaman saya di dunia investasi cukup pendek, setiap tahun selalu ada cerita baru yang dominan di market. Cerita ini selalu berhubungan dengan penggelembungan harga aset tertentu. Mungkin suatu hari akan ada tahun dimana semua aset investasi turun harga sehingga ceritanya tidak selalu To the moon tapi To the dirt.

Kata kunci utama tahun ini tentu saja Digital. Apa saja yang berbau digital bisa meningkatkan harga barang itu dengan drastis. Saham bank digital, distributor digital, Cryptocurrency, NFT dan lainnya. Beberapa orang menyamakan hal ini dengan dot com bubble di pasar USA pada tahun 1999, karena pada waktu itu perusahaan apapun yang mencantumkan .com di namanya akan dihargai tinggi oleh para spekulan.

Sebagai Investor yang selalu menghitung value, saya sama sekali tidak bisa menjustifikasi harga yang ditetapkan bagi aset ini. Sungguh tidak masuk akal membeli mata uang ataupun gambar digital yang tidak menghasilkan apa-apa jauhlebih mahal dibandingkan aset produktif yang menghasilkan uang.

Namun sayangnya, bagi mayoritas orang yang belum paham mengenai investasi, jauh lebih mudah untuk ikut-ikutan beli aset mahal yang akan menjadi lebih mahal lagi dalam waktu singkat dibandingkan beli aset murah yang bisa menjadi lebih murah lagi di masa depan.

Seperti pandemi COVID-19 yang terus bermutasi dan menyebar ke semua lapisan masyarakat, “Pandemi Investasi” ini juga sangat cepat berubah bentuk dan menyebar ke masyarakat umum. Bahkan orang yang tidak mengerti arti investasi bisa membeli aset-aset itu dengan alasan investasi. Saya pernah dikabari bahwa warga di salah satu desa yang letaknya di gunung saja bisa beli Cryptocurrency.

Terlebih lagi, layaknya pandemi, suka tidak suka semua orang akan terekspos fenomena ini. Semua media memberitakannya, semua orang membicarakannya, teman dan keluarga terdekat akan mengajak anda untuk mengambil kesempatan emas ini.

Seperti COVID-19 yang sudah pernah terjadi sebelumnya (SARS-cov-1) dan dilupakan, fenomena spekulasi ini juga sudah terjadi tahun lalu (Ingat saham farmasi, BRIS, ANTM, dll?) dan akan dilupakan lagi pada tahun 2022. Spekulasi seperti ini akan bermutasi terus dan menjangkiti korban baru. Kalau itu terjadi, semoga saja saya tidak jadi korbannya.

siapa yang untung?

Memang tidak bisa dipungkiri dengan perkembangan teknologi mobile internet dan smartphone, koneksi antar individu menjadi otomatis dan makin efisien. Bank dan operator telekomunikasi yang dulu perlu membangun banyak Call Center sekarang bisa digantikan dengan Chatbot saja.

Proses distribusi juga bisa menjadi lebih efisien. Belanja yang dulu perlu transportasi, waktu perjalanan dan biaya tol dan parkir jadi hanya perlu ongkir saja, bahkan keseringan ongkirnya gratis. Perusahaan yang menjual barang intangible bahkan butuh sedikit sekali biaya distribusi (Steam, Netflix, Zoom, dll).

Peningkatan efisiensi tentu saja membuat biaya perusahaan juga semakin kecil dan berpotensi meningkatkan volume penjualan karena jangkauannya yang lebih luas. Seharusnya keuntungan perusahaan juga membesar. Namun pada kenyataannya lebih banyak perusahaan teknologi yang merugi dibanding yang untung. Kenapa?

Usut punya usut, ternyata mayoritas pendapatannya dipakai untuk biaya marketing. Bisa dilihat bahwa mayoritas perusahaan teknologi, terutama yang B2C, akan membanjiri konsumen dan calon konsumen dengan berbagai macam insentif agar mau memakai produknya. Voucher Free Ongkir, Cashback 30%, bonus loyalty, dll. Bahkan ada perusahaan yang modal kulaknya 100 tapi dijual harga 90. Semuanya demi mendapatkan konsumen sebanyak-banyaknya. Tentu saja semua promo tersebut menghabiskan uang perusahaan.

Mengapa perusahaan melakukan hal itu? pertama, karena semua kompetitornya juga melakukan hal yang sama. Kemudahan konektifitas juga berlaku bagi konsumen. Berpindah dari produk/jasa satu perusahaan ke perusahaan lainnya hanya perlu beberapa klik saja. Jadi kalau Go-Food tidak lagi memberikan voucher cashback besar, sedangkan Shopee-Food menawarkan cashback hingga 60%, tentu saja konsumen Go-Food akan pindah ke Shopee-Food.

Kedua, karena perusahaan diperbolehkan “bakar duit” oleh investornya. Para investor ini tahu bahwa perusahaan akan terus membakar uang demi meningkatkan market share dan memperbesar omzet. Ketika uang di kantong perusahaan mulai menipis, perusahaan tersebut akan menggaet investor baru agar mendapat suntikan modal lagi. Tentu saja di kesempatan yang pas, investor lama akan menjual perusahaan di atas harga belinya kepada investor lain. Investor baru akan kembali menghamburkan uangnya demi memperbesar perusahaan untuk dijual lagi, begitu seterusnya. Fokus investor bukan pada keuntungan perusahaan tapi kepada harga perusahaan.

Nah, apakah biaya marketing besar-besaran yang dikeluarkan perusahaan apakah pasti meningkatkan market share mereka? Belum tentu.

Apakah injeksi dana besar-besaran yang disetor investor apakah pasti meningkatkan harga jual perusahaan? Belum tentu.

Apakah dengan adanya uang investor + promo perusahaan akan membuat harga beli konsumen semakin rendah? Tentu saja.

Seperti Hot Industry pada umumnya, yang diuntungkan di awal selalu konsumen. Maka saya selalu memposisikan diri sebagai konsumen perusahaan yang bakar duit, tidak di posisi investor maupun di posisi perusahaan. Saya lebih suka pasti untung dibanding pasti rugi – mungkin untung.

Penghematan yang saya peroleh dari pembakaran duit itu saya kumpulkan lalu diinvestasikan kembali ke perusahaan yang sudah memiliki keuntungan yang jelas. Win-win for me.

Industri bukan makro

Sebagai Bottom-Up Investor, saya selalu memulai analisa dengan melihat fundamental dari suatu perusahaan. Apa yang dijual? Siapa yang punya? dan bagaimana keuangannya? Setelah semuanya telah dianalisa hingga tuntas, biasanya saya akan mencari kompetitornya dan mengulangi langkah tersebut dari awal. Ketika semua analisa ini dilakukan, barulah saya memikirkan harga yang pantas agar perusahaan ini layak masuk portofolio PI.

Pendekatan analisa ini sering kali mengabaikan kondisi makroekonomi seperti tingkat suku bunga, inflasi-deflasi, pengaruh QE, Tapering, dll. Alasannya karena kondisi makroekonomi itu dipengaruhi oleh terlalu banyak faktor yang tidak bisa diprediksi. Suatu aksi yang dilakukan pemerintah, menurunkan suku bunga BI misalnya, akan berdampak kepada banyak faktor makroekonomi lainnya. Dampaknya apakah positif atau negatif? Tidak ada yang tahu. Bahkan prediksi pemerintah sendiri tidak bisa memprediksi akibatnya dengan akurat (Bisa di cek prediksi inflasi-deflasi Indonesia oleh pemerintah).

Kedua, saya berusaha mencari perusahaan yang bagus (dan murah). Perusahaan yang bagus memiliki kemampuan untuk mempertahankan atau malah meningkatkan kinerja di kondisi makroekonomi apapun. Seperti Bukit Asam, di saat kondisinya sangat jelek bagi batubara, perusahaan ini masih bisa memberikan keuntungan yang lumayan. Kan tidak perlu memprediksi kecepatan angin kalau pohon kita tidak akan tumbang.

Namun, saya tidak sadar bahwa ada satu bagian yang berada di tengah-tengah makroekonomi dan fundamental perusahaan yang punya efek cukup signifikan terhadap kinerja perusahaan, yaitu industri. Kesalahan saya adalah menyamakan peranan industri sama dengan peran makroekonomi, jadi sama-sama tidak penting untuk dianalisa, padahal efeknya terhadap analisa perusahaan tidak sama.

Industri ibarat sebuah mangkok, sedangkan perusahaan di dalam industri tersebut ibarat makanan. Mangkok bisa diisi oleh berbagai makanan, dari yang kecil seperti nasi hingga yang besar kayak roti. Semakin besar mangkok, semakin banyak kuantitas makanan atau semakin besar makanan yang bisa ditaruh. Semakin kecil mangkoknya, ukuran makanannya harus dikecilkan atau ada makanan yang dibuang.

Makanan yang berada di dalam mangkok itu juga bisa beragam. Mangkok besar bisa menampung makanan yang sedikit tapi besar (Bir), bisa juga menampung banyak makanan kecil-kecil (Travel Agent) atau bisa juga berisi banyak makanan kecil dan segelintir makanan besar (Rokok).

Saya suka dengan mangkok pertama dan terakhir. Bila mangkoknya membesar, biasanya makanan yang dominan di situ akan ikut membesar sejalan dengan pertumbuhan mangkoknya. Ada kalanya juga makanan yang besar mencaplok makanan yang kecil-kecil sehingga bisa menempati ruang mangkok lebih banyak. Perusahaan ini biasanya memiliki banyak uang atau memiliki akses untuk mendapatkan banyak uang (Bank, Obligasi, Right Issue).

Namun ada masanya makanan yang dominan malah dikerikitin oleh yang kecil. Perusahaan yang berhasil mengambil jatah perusahaan besar biasanya didukung oleh pihak besar lainnya, atau perusahaan yang dominan kalah bersaing karena kurang inovasi, mismanagement, atau model bisnisnya berubah menjadi lebih jelek.

Sejak saya sadar pentingnya menganalisa industri, mulai tahun ini setelah saya menganalisa suatu perusahaan dan kompetitornya, saya juga menganalisa industri dimana perusahaan itu berada. Perusahaan yang berada di industri yang berkembang dan minim kompetitor tentu saja memiliki prospek yang lebih baik dibanding industri yang stagnan, mengempis, atau diisi oleh banyak kompetitor (seperti industri bakar duit).

Sepanjang penglihatan saya, sangat jarang orang yang menganalisa industri. Kebanyakan investor hanya “sekedar tahu” saja. Kalau industri rokok dan televisi akan menurun, industri konstruksi & properti bakal naik, industri komoditas alam sedang tinggi-tingginya, dll. Pandangan tersebut biasanya diperoleh masyarakat dari pemberitaan media.

Sayangnya media lebih sering membesar-besarkan kejadian di suatu industri dibandingkan menampilkan data yang akurat. Saya sering baca koran bisnis dan media digital bisnis juga. Beritanya bisa berubah-ubah tergantung mood pasar di hari itu. Daripada membaca berita yang tidak benar, lebih baik tidak usah baca sama sekali.

Analisa industri juga jarang dilakukan oleh para investor karena data di Indonesia ini sangat-susah-sekali untuk didapatkan. Data dari organisasi satu dengan yang lain bisa berbeda, bahkan data resmi BPS dan kementrian terkait juga berbeda. Kadang datanya ketemu tapi hanya 1-2 tahun kebelakang saja. Jadinya banyak investor menyadur data industri dari pemberitaan media lagi.

Kesulitan ini juga bisa menjadi peluang bagi investor yang mau bersusah-payah menganalisa perusahaan. Bila kita menganalisa industri perusahaan, sedangkan 99% orang lainnya tidak menganalisa, maka kita akan memiliki peluang yang lebih baik dalam mengalahkan market.

Dunning-Kruger Effect

Tahun lalu saya melakukan banyak kebodohan, banyak diantaranya adalah kebodohan amatir yang seharusnya sangat mudah dihindari. Selain itu saya juga belum menguasai mindset investasi yang benar sehingga banyak keputusan yang diambil berdasarkan emosi dibanding logika. Hasil yang jauh lebih bagus dibanding tahun ini tercapai hanya karena dorongan market (IHSG +42% dari bottom) dan keberuntungan saja.

Sepanjang 2021 saya jarang sekali menulis di website ini, total hanya ada 3 artikel yang saya terbitkan. Sesuai tulisan saya di Annual Letter 2020 saya akan lebih banyak belajar dan menganalisa perusahaan dibanding menulis.

Menulis memang salah satu metode belajar yang bagus untuk mengulangi apa yang kita sudah pelajari. Mengulangi adalah kata kuncinya. Kalau saya tidak punya pengetahuan yang bagus, maka yang saya ulangi waktu saya menulis adalah pengetahuan yang tidak berguna pula. Artikel di tahun 2019 adalah buktinya (Saya bahkan belum menuju “Peak of Mount Stupid”).

Maka untuk tahun-tahun berikutnya saya akan terus menanjak “Slope of Enlightenment” secara perlahan dengan terus menerus belajar dan menganalisa lebih banyak perusahaan dan industri. Hingga suatu saat bila saya memiliki pondasi yang cukup buat, barulah tulisan di website ini semakin banyak.

Oh ya, grafik Dunning-Kruger Effect di atas tidak selalu akurat ya. Bisa saja setelah Valley of Despair kita akan menanjak menuju Peak of Mount Stupid ke-2, ke-3 dan seterusnya hingga ketemu tanjakan yang tepat untuk mencapai Enlightenment. Keep trying.

1 thought on “Annual Letter 2021”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *