Date | PI YTD (%) | IHSG YTD (%) | NAV |
---|---|---|---|
1 Jan 2020 | 0 | 0 | Rp1,000 |
Jan 2020 | 0.47 | -5.1 | Rp1,005 |
Feb 2020 | 0.28 | -13.44 | Rp1,003 |
Mar 2020 | 6.97 | -27.95 | Rp1,070 |
Apr 2020 | 9.31 | -26.84 | Rp1,093 |
May 2020 | 12.88 | -24.54 | Rp1,129 |
June 2020 | 17.53 | -22.13 | Rp1,175 |
July 2020 | 19.59 | -18.25 | Rp1,196 |
*UPDATED [31 Agustus 2020]: Ada error dalam perhitungan AUM PI sekitar 0.3% dari total AUM PI. Maka perhitungan PI YTD berubah dari 20.26% menjadi 19.59%. NAV PI berubah dari Rp 1,203 menjadi Rp 1,196.
Tema bulan Juli ini adalah berbenah-benah. Di bidang fintech sebenarnya tidak terlalu banyak perubahan, saya hanya mengurangi sedikit portfolio di fintech yang high risk dan disebarkan ke beberapa platform yang resikonya lebih rendah. Hal yang sama juga saya lakukan di bagian private investment, hanya saja penyebarannya jauh lebih banyak dan kompleks dibanding fintech. Hal ini saya lakukan untuk menurunkan tingkat resiko portfolio. Ada juga beberapa penempatan investasi yang bertujuan jangka panjang, jadi hasilnya mungkin baru terlihat dalam beberapa bulan atau tahun ke depan. Saya rasa hal ini penyebab utama kenaikan MoM hanya di bawah 3%.
Untuk bagian saham publik, saya mulai menyempurnakan teknik dan mindset valuasi saham. Sebelumnya saya menggunakan template untuk menghitung intrinsic value, namun walaupun template itu sangat bagus dan lengkap, saya tidak bisa 100% mempercayainya. Ternyata setelah saya mengambil komponen penting dari template itu dan menyederhanakannya, saya merasa jauh lebih nyaman dan lebih percaya diri dengan hasilnya. Valuasi bukanlah hal yang absolut, sehingga lebih baik membuat sendiri sistem yang masuk akal menurut kita, agar hasilnya lebih mudah untuk kita percayai.
Di bulan ini saya juga disadarkan pentingnya story pada saat kita mevaluasi sesuatu. Sebelumnya saya hanya menggunakan rumus dan rumus untuk memperhitungkan expected growth rate, reinvestment rate, dll. Bila saya ditanya “Angka tersebut dapat darimana?”, saya hanya bisa menjawab “rumusnya bilang begitu.” Anehnya, saat ditanya lagi, “Apakah rumus itu pasti benar?” saya tidak bisa dengan mantap mengangguk. Ada yang salah di sini.
Maka bentuk penyederhanaan yang saya lakukan itu adalah mengganti penggunaan hasil perhitungan rumus matematika dari yang sebelumnya adalah hasil absolut menjadi hanya landasan pemikiran saja. Angka yang benar-benar saya pakai dalam perhitungan harus didasari oleh sebuah story. Contohnya bila rumus mengatakan pertumbuhan perusahaan harusnya 15% tiap tahun, mungkin angka yang saya pakai hanyalah 10% saja. Pada saat ditanya mengapa 15%? saya hanya bisa menjawab rumus, namun saat ditanya mengapa 10% saya sudah menyiapkan cerita dibalik angka 10% itu. Sistem valuasi seperti ini, menurut saya, jauh lebih masuk akal dibanding memakai perhitungan yang kompleks.
Maka untuk artikel ke depan, saya akan berusaha menyeimbangkan faktor angka dan cerita saat membahas suatu perusahaan.